Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Akrobatik Angka Mengendalikan Pandemi


Topswara.com -- Viral, publik kembali dihebohkan dengan pernyataan  pemerintah bahwa jika kasus invection red Covid-19 dan ketersediaan tempat tidur rujukan di rumah sakit Covid-19 mengalami penurunan. 

Pernyataan ini mendapat tanggapan dari sejumlah pihak terutama para ahli. Mereka beranggapan selama 1,5 tahun pandemi, pemerintah banyak berakrobat dengan angka-angka dan diduga memanipulasi data demi penilaian keberhasilan penanganan pandemi. Pasalnya pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. 

Dilansirdari cnnindonesia (19/7/2021) kasus positif virus Corona bertambah 47.791 per Rabu 28/07/2021. Dengan demikian telah ada 3.287.727 kasus positif virus Corona di Indonesia, sejak pertama diumumkan Presiden pada awal Maret 2020. Namun kasus mulai turun dan tidak lagi melewati angka 50.000 pada Minggu (18/07/2021) seiring anjloknya testing.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Yanuar Nugroho menilai, data penurunan kasus Covid-19 di Indonesia bermasalah. (kompas.com, 22/07/2021)

Dari beberapa fakta di atas nampak sangat prematur, jika pemerintah menyatakan pandemi sudah terkendali. Pandu, seorang ahli Epidemiologi Universitas Indonesia menilai, kasus harian Covid-19 saat ini masih meningkat. Hal ini terlihat dari bertambahnya  ketersediaan tempat tidur rumah sakit dan masih tingginya kasus kematian. Lalu mengapa pemerintah melakukan pengendalian data di tengah kasus Covid-19 yang masih tinggi? 

Kebijakan pemerintah berfokus pada pandemi memang sangat mendesak untuk diimplementasikan. Salah satu kebijakan yang diambil yaitu penerapan PPKM, dengan harapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat ini dapat menekan laju penyebaran virus Covid-19. Walaupun sebenarnya kebijakan ini berat bagi pemerintah, karena pemerintah akan dituntut mengeluarkan bantuan sosial dan finansial kepada rakyat selama PPKM ini berlangsung.

Penerapan kebijakan PPKM pada kenyataannya belum memberikan dampak penurunan jumlah kasus positif Covid-19 dan tidak berjalan efektif, dikarenakan peraturan yang diterapkan tidak menyeluruh. Misalnya yang ditutup hanya akses di dalam negeri sementara bandara tidak ditutup. Masyarakat dihimbau untuk tetap di rumah, sementara pemerintah tidak menjamin kebutuhan hidupnya. Masyarakat pun jenuh dengan kebijakan ini, sehingga mobilitas masyarakat meningkat dan kurang mematuhi aturan prokes. Mereka harus mencari nafkah di tengah kesulitan penerimaan bantuan, karena mekanismenya berbelit.

Di sisi lain, kita ketahui kasus positif Covid-19 masih tinggi, namun pemerintah menyatakan tingkat kesembuhannya  tinggi. Data ini terlihat dari menurunnya testing Covid-19. Dengan dasar pertimbangan data tersebut dan mendengar masukan dari masyarakat, pemerintah berencana melonggarkan aturan PPKM darurat. Semua jenis usaha boleh dibuka dengan batasan waktu dan mematuhi protokol kesehatan. Pemerintah berharap pelonggaran aturan ini bisa menjadi jalan tengah bagi warga yang terhimpit ekonominya. 

Pemandangan kebijakan seperti ini merupakan sebuah kewajaran dalam sistem kapitalistik. Kapitalisme membuat penguasa bermental pengusaha ketika mengurus rakyat. Orientasi kebijakannya bukan pada penyelamatan nyawa rakyatnya, melainkan pada aspek ekonomi berlandaskan untung dan rugi. 

Saat mengeluarkan dana untuk kebutuhan rakyatnya, penguasa sangat perhitungan. Mereka menganggap tidak ada pengembalian modal. Namun untuk kebutuhan para kapital, mereka sangat loyal. Dana yang dikeluarkan untuk para korporat tak ubahnya seperti investasi, karena modal akan kembali ditambah keuntungannya.

Jika rakyat terus hidup dalam sistem kapitalis terutama di tengah pandemi, bukan tidak mungkin akan semakin banyak nyawa melayang disebabkan  kelalaian negara dalam mengurus rakyatnya.

Maka sistem yang sangat dibutuhkan sekarang adalah sistem Islam dalam naungan khilafah. Daulah khilafah akan memposisikan  penguasa (khalifah) sebagai raa'in yaitu pengurus untuk rakyatnya. Kekuasaan dalam Islam berorientasi tidak sebatas di dunia saja, melainkan juga di akhirat, pertanggungjawabannya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, " Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyat ". (HR. Al Bukhari)

Penguasa yang kepemimpinannya berlandaskan wahyu Allah SWT, akan mengurus rakyatnya dengan baik dan penuh amanah berlandaskan keimanan. Mereka tidak akan melakukan manipulasi data, hanya untuk pencitraan agar dipandang mampu mengendalikan pandemi. Namun yang akan dilakukan adalah memastikan per individu rakyat mendapat layanan kesehatan dan jaminan kebutuhan pokok yang layak.

Penanganan pandemi diupayakan dengan pemisahan antara orang sakit dari yang sehat. Khalifah juga melakukan tracing masal per individu secara gratis dan aman.
Sarana dan prasarana kesehatan dipastikan akan ️terpenuhi, seperti pemenuhan kebutuhan akan perawat, dokter ahli, rumah sakit, obat-obatan maupun vaksin, serangkaian tes, ambulan, hingga perawatan jenazah yang tidak menzalimi. Semua rakyat berhak mendapatkannya secara gratis dan berkualitas.

Khalifah akan memberikan edukasi kesehatan pada rakyat, sehingga mereka dapat melakukan protokol kesehatan berlandaskan keimanan dan ketaatan pada pemimpin. Penanganan pandemi pun akan mudah dikendalikan. Kita dapati dalam sejarah kegemilangan peradaban Islam, bagaimana seorang khalifah Amru bin Ash berhasil menangani wabah Tha'un di Syam. Sistem sahih inilah yang kiranya dapat menjadi kerinduan umat Islam untuk mewujudkannya.

Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Ummu Nadhif
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar