Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prof. Suteki Ungkap Tiga Perbedaan Mendasar Demokrasi dan Islam

Topswara.com-- Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengungkapkan, antara demokrasi dan Islam memiliki setidaknya tiga perbedaan mendasar. 

"Antara demokrasi dan Islam, memiliki berbagai perbedaan mendasar. Menurut Dhiyauddin ar Rais, ada tiga hal yang membedakan sistem Islam dan sistem demokrasi," tulisnya dalam buku berjudul Hukum dan Masyarakat, Bab Hukum dan Transformasi Pemerintahan, penerbit Thafa Media, Yogyakarta, Februari 2021

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini memaparkan, perbedaan pertama adalah, dalam demokrasi definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. 

"Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan hakiki dalam Islam adalah akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa, atau batasan lain. Sehingga, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional," bebernya.

Perbedaan kedua, ia menjelaskan bahwa tujuan demokrasi pada tiap masa adalah tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan, atau gaji. 

"Sementara dalam Islam, selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi atau materi, juga mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental," tandasnya. 

Terkait perbedaan ketiga, ia menyampaikan bahwa kedaulatan rakyat menurut demokrasi adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman dan kemaksiatannya. 

"Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak. Melainkan terikat dengan ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan syariat, Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa mendapat sanksi," ungkapnya. 

Ia melanjutkan, menurut sistem Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh agamanya, karena Islam bukan teokrasi. Begitu pun bukan di tangan undang-undang, karena Islam tidak sama dengan nomokrasi. 

"Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam Islam sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan syariat Islam. Jadi, syariat pemegang kekuasaan penuh dalam negara Islam," pungkasnya. [] Puspita S.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar