Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fobia Islam Tumbuh Subur dalam Dekapan Sekularisme


Topswara.com -- "Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat.”  

Kondisi umat Islam saat ini sangat menyedihkan.  Mereka tidak memiliki pelindung. Semakin hari, kian banyak pihak yang berani menunjukkan kebencian terhadap Islam. Sementara, umat Islam tidak mampu melawannya. Di Indonesia, sejak awal tahun 2000-an bermunculan status dan video penghinaan terhadap ajaran Islam dan Nabi SAW di media sosial. Dari Garut, Bandung, Sidoarjo, Medan, Jakarta dan berbagai tempat. Pun banyak tokoh yang melakukannya, di antaranya Desmond J. Mahesa, Sukmawati, Gus Muwafiq (Idntimes.com, 2/11/2020). 

Namun, kejadian ini bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Belum hilang dari ingatan kaum Muslim sedunia, pada tahun 2020, Presiden Perancis Emmanuel Macron membela Charlo Hebdo, sebuah koran penerbit kartun Nabi. Di Malaysia, seorang warganya, Mohd Zahrein Zakariah (39 tahun) telah menghina Islam melalui unggahan di akun Facebook miliknya (republika.co.id, 16/3/2021).  

Begitu pula, dilansir BBC dan The Guardian, Jumat (26/3/2021), seorang guru menunjukkan karikatur nabi dalam salah satu pelajaran di Batley Grammar School di West Yorkshire pada Senin (22/3) waktu setempat.

Belum lagi ditambah opini buruk wajah Islam yang sengaja digulirkan media massa. Berita tentang Islam diframing  sebagai agama teroris dan radikal.

Mengapa kebencian terhadap Islam kian lama semakin besar? Padahal Islam adalah agama rahmatan lil alamin, penuh kasih sayang bagi seluruh alam? Akankah umat Islam mampu mengatasi kebencian ini? 

Penyebab Suburnya Fobia Islam

Sikap anti-Islam sebenarnya setua umur Islam itu sendiri. Akan tetapi, istilah fobia Islam baru muncul sejak 1980-an. Menurut tim think tank Runnymede Trust dari Inggris pada tahun 1997, fobia Islam  adalah rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan Muslim. Hal ini nampak pada praktik diskriminasi terhadap Muslim. Muslim dipisahkan dari kehidupan ekonomi, sosial dan kemasyarakatan. Fobia Islam juga mengandung paham bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain. Islam dianggap lebih rendah dibanding budaya Barat.  Islam pun dianggap sebagai ideologi politik yang bengis. Sikap ini merebak sejak peristiwa 11 September 2001. Sebuah sikap yang  sangat tendesius dan tidak adil.

Sikap ini muncul disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal  umat Islam. Faktor eksternal pertama adalah derasnya propaganda dan framing negatif tentang Islam oleh pihak yang menempatkan Islam sebagai musuh. Hal ini dilakukan lewat media massa. Di Indonesia sendiri terjadi sejak  masa pejajahan. Media massa sengaja memuat tulisan-tulisan yang menghina ajaran Islam (republika.co.id, 7/12/2018).  

Sementara di dunia terutama Eropa, opini Islam awalnya merupakan propaganda berbahayak kekhilafahan  bagi eksistensi bangsa-bangsa kristen Eropa. Sehingga wajar mereka takut dan benci karena kekuatan Islam menghalangi kepentingan mereka.  

Di sisi lain, media massa sengaja menyembunyikan sumbangan Islam yang tak terhitung jumlahnya bagi peradaban dunia. Hal ini berlanjut sampai sekarang. Media massa terbukti mempunyai andil besar membentuk  opini dan persepsi masyarakat yang buruk tentang  Islam di seluruh dunia.

Faktor eksternal kedua, adalah penerapan sistem sekuler baik di Indonesia maupun mayoritas negara dunia saat ini.  Makna sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan. Oleh karenanya, negara sekuler mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan. Negara juga mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik. Mereka membebaskan manusia mengatur kehidupan tanpa agama. Lahirlah konsep hak asasi manusia, yang membebaskan manusia berekspresi.

Negara sekuler mengklaim mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun berbeda agama. Pun, mereka menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu.  Namun, fakta perlindungan kebebasan dan toleransi hanya untuk selain Islam. Hal ini nampak jelas dari respon negara-negara sekuler terhadap berbagai kasus kemanusiaan. Jika menimpa bangsa, agama  dan etnis mereka, maka reaksi mereka sangat cepat. Sebaliknya, mereka tidak merespon, jika bencana kemanusiaan terjadi di negeri-negeri  kaum Muslim, dan dilakukan oleh bangsa, agama dan etnis mereka. Alasan satu-satunya hanya karena mereka beragama Islam. Seperti kasus di Palestina, Afganistan, Suriah, Uyghur, Rohingya dan tempat kaum Muslim lainnya .

Mereka juga toleran dan melindungi simbol seluruh agama, tetapi melarang dan memberikan sanksi jika itu terkait simbol Islam. Seperti perlindungan  mereka terhadap pakaian rabi, suster, pendeta, namun membuat kebijakan melarang penggunaan jilbab, niqab.

Untuk kasus penghinaan agama, jika itu antisemit, negara akan melindungi dan menghukum keras pelakunya. Namun jika itu fobia Islam, justru sebagian besar mereka mendukung penghina ajaran Islam dan Nabi. Di Indonesia, kasus penghina Islam bebas dan dilindungi, sementara jika ada yang menghina agama lain langsung diberi sanksi.  

Berikutnya adalah faktor kedua, yakni internal umat Islam. Pertama, kurangnya pemahaman sebagian besar umat Islam terhadap ajaran Islam. Di Indonesia,  banyak yang berislam karena faktor keturunan, bukan karena kesadaran bahwa Islam adalah agama sempurna.  

Akibatnya, semangat mempelajari Islam hanya sekadarnya.Terbukti  berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mencatat bahwa 53,57 persen Muslim di Indonesia belum bisa membaca Al-Qur'an. Lalu, bagaimana mereka akan memahami serta mengamalkan ajaran Islam? Sehingga wajar jika perilaku kaum Muslim tidak sesuai dengan kemuliaan ajaran Islam. 

Padahal, orang di luar Islam melihat Islam dari perilaku pemeluknya. Kondisi ini hampir merata di seluruh dunia.  Akhirnya, potret Islam  menjadi buruk, seburuk sebagian perilaku Muslim yang tidak paham Islam.

Sementara secara fitrah, kaum Muslim ingin membela jika Islam dihina, sehingga muncul pembelaan yang tidak tepat. Misalnya, kaum Muslim berupaya  membantah tuduhan  tentang poligami, Islam defensif atau ofensif, dan seterusnya. Bahkan, karena pemahaman tentang Islam yang sangat minim, menyebabkan sebagian  umat Islam pun terjangkit fobia Islam, minder terhadap ajaran agamanya sendiri.

Faktor internal kedua, sebagian orang yang mengaku Muslim ternyata menjadi agen dari musuh-musuh Islam. Mereka justru ikut melakukan propaganda kebencian terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Mereka memusuhi Islam dan Muslim serta membuat umat Islam ragu terhadap agamanya sendiri. Di Indonesia ada Jaringan Islam Liberal.  Sementara di luar negeri ada tokoh-tokoh liberal seperti Fazlur Rahman dari Pakisatan,  Ali Abd Raziq dari Mesir, Fatima Mernissi dari Maroko. 

Faktor internal ketiga adalah tidak adanya negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Sehingga umat Islam tidak mampu melalukan  propaganda secara masif tentang kebenaran Islam. Padahal jika ada negara yang menerapkan Islam kafah, maka akan menjadi bukti penerapan  Islam rahmatan lil alamin secara de facto.

Ketiadaan negara juga membuat Islam dan umat Islam tidak mempunyai pelindung dari serangan fobia Islam di seluruh dunia. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya.“ (H.R. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad)

Islam Satu-satunya Solusi

Jika umat Islam ingin menyelesaikan seluruh persoalan fobia Islam, maka sudah saatnya umat Islam bangkit dan mempelajari ajaran Islam dengan sengguh-sungguh.  Sehingga kasus fobia Islam tidak terulang dan terulang lagi. Kemudian  umat Islam harus berjuang bersama-sama menegakkan kembali negara yang menerapkan sistem Islam (khilafah). 

Sebab, hanya khilafah yang mampu menghadapi propaganda dan framing media massa musuh-musuh Islam, yakni dengan dakwah dan jihad. Sebagaimana dahulu Rasulullah mengutus duta untuk membawakan surat, berdakwah lewat tulisan, kepada beberapa penguasa di sekitar Jazirah Arab dan Negeri Hijaz (Chalil, M., Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, 2001, hlm 391). 

Begitu pula, para khalifah sesudah beliau melakukan hal yang sama. Sementara di dalam negeri, negara akan menerapkan kebijakan yang jelas tentang isi media.  Bahwa, kebebasan berekspresi dibolehkan dan dilindungi oleh syariat Islam. Namun, dengan syarat tidak bertentangan dengan akidah Islam dan syariatnya. Jika ada pelanggaran, maka negara telah membuat sanksi hukum yang tegas.

Untuk kasus fobia Islam, terkhusus pihak yang menghina Nabi, ulama telah bersepakat hukumannya adalah dibunuh. Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Sharimul Maslul mengatakan, bahwa orang yang mencela Nabi SAW, baik Muslim atau kafir ia wajib dibunuh.   Inilah pendapat jumbur ulama. Akan tetapi, eksekusi hukuman hanya boleh dilakukan oleh pemimpin dalam sistem Islam. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abdurrahman al-Barrak hafidzahullah. Beliau  mengatakan, "Jika orang yang mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin, misalnya orang Nasrani, maka dia telah membatalkan kesepakatan damai dengannya, sehingga wajib dibunuh. Akan tetapi, yang melakukan hal itu adalah pemimpin.” (http://islamqa.info/ar/14305).

Selanjutnya, kekhilafahan juga akan melawan fobia Islam yang dilakukan oleh negara-negara sekuler yang memusuhi Islam. Sebagaimana Sultan Hamid II mengultimatum kerajaan Inggris, ketika akan menggelar drama penghinaan terhadap Nabi Saw.  Akibatnya pemerintahan Inggris membatalkan pementasannya.

Khatimah

Jelaslah, bahwa  umat Islam harus segera meninggalkan sistem sekuler.  Sebab, sistem sekuler tidak akan pernah memberi panggung bagi ajaran  Islam, Nabi dan umatnya. Bahkan sekularisme justru melindungi dan membiarkan fobia Islam tumbuh subur di seluruh penjuru dunia.  

Selanjutnya, jika umat Islam sungguh-sungguh ingin mengatasi fobia Islam, maka sudah saatnya umat Islam bangkit dan kembali menerapkan sistem Islam. Sebab, hanya Islamlah ideologi yang senantiasa memperhatikan pemahaman Islam bagi umatnya. Pun, melindungi kebencian dan perlakuan buruk musuh-musuh Islam. Kapan pun dan di mana pun berada. []

Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar