Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Antara Benci Produk Luar Negeri dan Cinta Impor


Topswara.com -- Menurut data GlobalWebIndex, pada tahun 2019 Indonesia menjadi negara dengan adopsi e-commerce tertinggi di dunia. 90 persen pengguna internet berusia 16–64 tahun pernah melakukan belanja online.

Potensi besar yang dimiliki Indonesia saat ini menjadikannya sebagai salah satu negara sangat potensial. Terbukti dari banyaknya pilihan e-commerce dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan. Sehingga membuat banyak pengguna semakin kalap untuk berbelanja lewat toko online.

Sebut saja Shopee (e-commerce yang berasal dari Singapura di bawah SEA Group). Tercatat jumlah pengunjung Shopee selama satu bulan saja sekitar 93 juta lebih. 

Lazada, perusahaan yang bermarkas di Singapura sejak tahun 2012 sudah melebarkan sayap di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Lazada merupakan e-commerce yang dimiliki oleh Alibaba Group dari Cina. Ada juga JD.ID yaitu e-commerce yang berasal dari Tiongkok. (qworld.com, 22/9/2020)

Maka, sesuatu yang menggelikan jika saat ini pemerintah menyerukan benci produk asing di saat banyak dari rakyatnya telah tergoda dengan besarnya diskon yang ditawarkan serta bebas ongkos kirim. Rakyat sudah terbiasa dengan segala kemudahan berbelanja aman dengan sekali klik. Terlebih di saat pandemi yang mengimbau rakyat agar berbelanja secara online demi menekan angka penyebaran Covid-19.

Negeri dalam Serbuan Produk Asing 

Produk impor yang berkualitas bagus dan harganya murah sering menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyat yang sudah terlanjur terjangkit virus hedonisme ini. Rakyat lebih rasional saat membeli produk. Artinya, selama produk dari luar negeri lebih murah, maka mereka akan memilihnya.

Pasar e-commerce yang terbuka telah membuat konsumen kian mudah membandingkan harga untuk produk sejenis secara lintas platform. Pada akhirnya, tawaran harga dan biaya pengiriman menjadi pertimbangan utama bagi konsumen. Keunggulan inilah yang tidak dimiliki oleh produk UMKM. Dengan kata lain, produk lokal tertinggal dari sisi daya saing harga.

Mirisnya, di tengah serbuan barang impor nasib pengusaha dalam negeri seolah tanpa pelindung. Penguasa tunduk pada ASEAN- China Free Trade Area yang membebaskan pajak barang masuk wilayah Indonesia.

Sementara di dalam negeri, penguasa tak mampu mewujudkan iklim bisnis yang kondusif. Pengusaha lokal dipungut pajak dan aneka pungutan lainnya yang menjadikan harga produk tidak kompetitif. UMKM dilepas ke pasar bebas untuk bersaing dengan korporasi besar dunia. Sungguh tak seimbang. Walhasil, pendapatan dari e-commerce hanya dinikmati asing.

Maka, seruan untuk mencintai produk dalam negeri dan dorongan UMKM Untuk memanfaatkan perdagangan digital dalam memenuhi pasar nasional maupun internasional tidak cukup untuk menyelamatkan pengusaha dalam negeri. Berbagai kesepakatan bilateral, regional dan internasional dalam perdagangan telah berjalan dan merugikan pengusaha dalam negeri.

Inilah produk penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan liberalisasi perdagangan. Berbeda ketika perdagangan diatur dengan sistem Islam.

Perdagangan dalam Sistem Islam

Sistem Islam menjalankan perdagangan berdasarkan pelaku perdagangan atau pedagangnya. Abdurrahman Al-Maliki dalam buku politik ekonomi Islam menjelaskan bahwa perdagangan adalah aktivitas jual beli. Hukum-hukum yang terkait jual beli adalah hukum-hukum tentang pemilik harta bukan hukum tentang harta.

Status hukum komoditi (produk) bergantung kepada pedagangnya, apakah dia warga negara darul Islam (khilafah) ataukah darul kufur.

Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Islam, maka termasuk warga negara khilafah meski dia tidak memeluk agama Islam. Sedangkan setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan Islam adalah orang asing meski dia muslim atau non-muslim. Agar mendapatkan semua riayah (pengurusan) oleh khilafah, maka seseorang harus menjadi warganegara Islam. 

Pedagang yang merupakan warganegara Islam boleh melakukan perdagangan di dalam negeri dengan catatan mereka harus terikat syariat Islam dalam perdagangan. Misalnya, tidak boleh melakukan penipuan, melakukan kecurangan, menimbun barang, menjual barang haram dan hal-hal terlarang lainnya.

Pedagang berkewarganegaraan Islam boleh melakukan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) tanpa perlu surat izin ekspor impor. Namun, jika ada komoditi yang bila diimpor atau diekspor akan berdampak negatif, maka komoditi ini sajalah yang dilarang. Adapun aktivitas ekspor impor secara umum boleh (mubah) dilakukan.

Apabila terdapat negara yang sedang terjadi perang dengan khilafah, maka warganegara Islam tidak boleh melakukan kontak bisnis dengan mereka misalnya dengan Israel. Karena ekspor-impor yang dilakukan akan memperkuat mereka. 

Pedagang dari negara kafir yang terkait perjanjian dengan khilafah (kafir mu'ahid) diperlakukan dalam hubungan perdagangan luar negeri sesuai dengan isi perjanjian yang diadakan dengan mereka. Isi perjanjian tersebut dirancang agar tidak merugikan khilafah.

Sedangkan pedagang dari negeri kafir harbi, hukman yang tidak ada perjanjian dengan khilafah, maka mereka tidak diizinkan masuk ke wilayah khilafah kecuali dengan izin khusus atau visa. Ini berarti mereka juga boleh memasukkan komoditas ke wilayah khilafah tanpa izin khusus. Izin ini tidak akan diberikan jika membawa bahaya bagi khilafah.

Pedagang Islam juga terbebas dari bea cukai atas komoditas apa saja baik komoditas impor maupun ekspor. Hal ini akan membuat pedagang senang karena tidak banyak pungutan seperti di sistem sekarang. Semua aturan terkait perdagangan ini jika dipraktikkan dalam sistem khilafah akan melindungi para pedagang dalam negeri khilafah. Mereka akan mudah melakukan bisnis di dalam negeri maupun ekspor impor sehingga memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran. []

Oleh: Nabila Zidane
(Forum Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar