Topswara.com -- Fenomena grey divorce alias perceraian di usia senja makin ramai diperbincangkan. Bayangin, pasangan yang sudah puluhan tahun bareng from boncengan motor era karburator sampai sekarang era ojek online tiba-tiba mutusin buat pisah.
Padahal rambut udah sama-sama memutih, lutut sama-sama krek-krek, tetapi hati kok malah misah jalan. Mungkin ini yang disebut, “berumah tangga lama, tetapi enggak ngerti peta.”
Fenomena ini bukan sekadar soal “udah enggak cocok,” tetapi tanda ada masalah besar di baliknya. Banyak pasangan bertahan hanya karena anak-anak masih kecil. Begitu anak gede, nikah, punya hidup sendiri, tibalah masa sunyi di mana dua manusia yang dulu saling sayang itu malah saling melongo, “Lho… kita ini siapa? Kok kayak serumah sama orang asing?”
Nah, ini bukan drama Korea, sob. Ini realita rumah tangga yang sejak awal salah fondasi. Pernikahan dijalani, tetapi tujuan pernikahannya nggak pernah dipahami. Kenapa? Karena sistem pendidikan sekuler kapitalis hari ini ngajarin,
“Nikah itu buat bahagia versi dunia. Kalau enggak bahagia, ya udahan aja.”
Padahal siapa bilang bahagia itu standar utama? Dalam Islam, nikah itu ibadah, bukan eksperimen perasaan. Allah tidak pernah janji bahwa yang menikah bakal bebas masalah. Tetapi Allah janji, siapa yang sabar dan saling menjaga, maka seluruh letihnya dicatat sebagai pahala tanpa henti.
Grey divorce terjadi karena hidup dijalani tanpa takaran syariat. Selama bertahun-tahun, suami-istri fokusnya hanya pada ekonomi, anak, cicilan, dan rutinitas. Mereka lupa membangun ruhiyah dalam pernikahan. Lupa ngobrol hati ke hati.
Lupa bahwa cinta itu bukan seperti AC yang bisa mendinginkan suasana sendirian. Cinta itu lebih mirip tanaman, harus disiram, dipupuk, dijaga, bukan cuma dikasih selingan motivasi ala “yang sabar ya Bu, Pak.”
Sistem sekuler juga membentuk manusia jadi super individualis. Suami sibuk sendiri. Istri sibuk sendiri. Sama-sama capek, tetapi enggak pernah duduk berhadapan kecuali kalau lagi debat duniawi. Makin tua makin sadar, “Ternyata selama ini aku cuma hidup bareng, bukan hidup bersama.” Nah lho, beda banget itu, sob.
Di sisi lain, Islam mengatur pernikahan bukan cuma soal akad dan tinggal serumah, tetapi soal visi hidup. Suami adalah pemimpin, tetapi wajib lembut dan memuliakan, bukan mendadak jadi “komandan emosional.” Istri adalah penolong, tetapi bukan pembantu rumah tangga gratisan. Keduanya sama-sama hamba Allah yang tugasnya saling menuntun menuju ridhaNya.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa rumah tangga dalam Islam dibangun atas asas ketakwaan, bukan asas kepuasan emosional.
Beliau menegaskan bahwa pernikahan adalah institusi ibadah yang menuntut kerja sama dua insan dalam menjalankan hukum Allah, sehingga stabilitas keluarga hanya mungkin terwujud jika pasangan memahami syariat dan menjalankannya sebagai standar, bukan perasaan.
Ketika syariat ditinggalkan, kata beliau, maka keharmonisan tidak mungkin bertahan karena “perasaan manusia berubah-ubah, sementara syariatlah yang menetapkan arah.”
Begitu visi ini hilang, pernikahan berubah jadi proyek duniawi. Dan proyek duniawi itu gampang bubar kalau sudah masuk usia pensiun. Grey divorce juga menunjukkan bahwa pendidikan pranikah kita nyaris nol. Banyak orang belajar matematika bertahun-tahun, belajar nyetir pakai kursus, tetapi nikah? “Ya Bismillah aja…”
Padahal yang sedang diurus bukan motor, tetapi manusia yang punya hati, punya luka, punya keinginan, dan punya amanah. Suami dan istri wajib paham bagaimana menghadapi beda karakter.
Bagaimana komunikasi yang syar’i, bukan komunikasi membatin. Bagaimana menyelesaikan konflik tanpa bawa-bawa drama zaman Piala Dunia 2002.
Bagaimana menua bersama tanpa merasa sendirian. Tanpa ini semua, jadilah drama grey divorce, rambut memutih, tetapi emosi kok makin “ijo royo-royo.”
Padahal justru di masa tua, pasangan harusnya makin lengket. Harusnya jadi teman minum teh sore sambil ketawa kecil mengenang masa muda. Harusnya jadi tempat pulang terakhir sebelum pulang ke Allah SWT.
Pernikahan itu bukan lomba siapa yang paling bahagia, tetapi siapa yang paling taat, paling sabar, paling saling jaga.
Maka kalau sekarang kita melihat grey divorce di mana-mana, itu bukan bukti cinta habis. Ini bukti sistem hidup sekuler telah gagal merawat manusia dan keluarganya.
Pernikahan butuh syariat, bukan sekadar cinta. Butuh visi, bukan sekadar validasi. Butuh Allah di tengah-tengah, bukan ego masing-masing. Karena kalau suami lupa tugasnya, istri lupa tujuannya, dan rumah tangga dijalankan ala “ya jalanin aja,” maka ketika usia menua, yang tersisa hanyalah dua kursi kosong, satu di ruang tamu, satu lagi di hati. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar