Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Zakat Tersandera Sekularisme, Sejahtera yang Tak Kunjung Nyata


Topswara.com -- Di negeri yang tanahnya subur, lautnya luas, dan kekayaan alamnya berlimpah, kemiskinan tetap saja menjadi cerita lama yang tak kunjung berakhir. Ironi ini terasa kian tajam karena Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. 

Padahal Islam telah menurunkan sistem ekonomi yang sempurna dengan zakat sebagai instrumen kunci untuk menegakkan keadilan sosial dan menyejahterakan rakyat. 

Namun, selama agama hanya dibiarkan menjadi urusan pribadi dan tidak diberi peran dalam mengatur kehidupan publik, potensi zakat yang luar biasa itu akan tetap menjadi angka potensial yang tak pernah menjadi kekuatan riil.

Potensi Besar Zakat, tetapi Belum Berdampak Nyata

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kalimantan Selatan mencatat potensi zakat di daerah ini mencapai Rp28 triliun. Angka fantastis ini disampaikan dalam laporan Kalimantan Post, (17/10/2025) berjudul “BAZNAS Dorong Optimalisasi Zakat Rp28 Triliun untuk Tekan Kemiskinan di Kalsel”. 

Pemerintah daerah pun menyatakan dukungannya terhadap penguatan BAZNAS agar zakat dapat dikelola secara produktif, adil, dan transparan. Harapannya, zakat dapat menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan. 

Dibalik optimisme itu, patut dipertanyakan mengapa potensi zakat sebesar itu belum mampu mengubah wajah kemiskinan secara signifikan?

Zakat yang Dilemahkan oleh Sekularisme

Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari urusan publik. Akibatnya, zakat dipandang semata sebagai kewajiban moral, bukan kewajiban negara. Ia bersifat sukarela, tidak terintegrasi dengan kebijakan fiskal nasional, dan dikelola oleh lembaga-lembaga yang berjalan sendiri-sendiri. Zakat akhirnya menjadi instrumen sosial, bukan institusi ekonomi negara.

Sistem ekonomi kapitalistik yang berorientasi pada akumulasi kekayaan juga memperlebar jurang kesenjangan. Harta berputar di kalangan pemilik modal, sementara rakyat kecil terus berjuang di tepian kesejahteraan. 

Maka wajar jika zakat, meski potensinya besar, tetap tidak cukup kuat menandingi ketimpangan struktural yang dilahirkan oleh sistem ekonomi sekuler.

Zakat Salah Satu Sumber Pemasukan Negara

Dalam sistem Islam, zakat memiliki posisi strategis sebagai salah satu sumber keuangan negara. Ia dikelola oleh amil zakat resmi negara di bawah otoritas khalifah dan disalurkan melalui baitul mal kepada delapan golongan yang berhak (ashnaf). Negara bertanggung jawab penuh untuk memastikan pengumpulan, pendistribusian, dan pengelolaan zakat berjalan sistemis, terarah, dan berkeadilan.

Zakat tidak hanya dimaknai sebagai ibadah spiritual, tetapi juga mekanisme ekonomi yang mengatur distribusi kekayaan dan menumbuhkan kemandirian umat. Melalui sistem ini, negara tidak hanya membagikan zakat, tetapi juga menata ulang struktur kepemilikan harta agar tidak menumpuk di tangan segelintir orang. 

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(QS. At-Taubah: 103)

Teladan Sejarah: Umar bin Abdul Aziz dan Hilangnya Kemiskinan

Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat dikelola secara sistemis dan terintegrasi dengan seluruh kebijakan ekonomi negara. Para amil zakat yang dikirim ke berbagai wilayah bahkan kesulitan menemukan mustahik.

Karena seluruh rakyat hidup sejahtera dan kebutuhan mereka telah tercukupi. Ini bukan kisah mitologis, melainkan fakta sejarah tentang efektivitas zakat ketika dijalankan dalam sistem Islam yang utuh.

Itulah bukti bahwa zakat bukanlah “santunan sosial”, tetapi mesin pemerataan ekonomi yang mampu menghapus kemiskinan struktural asal dikelola dengan paradigma Islam, bukan sekuler.

Kesejahteraan Tidak Datang dari Sistem yang Salah

Hari ini, zakat sering dikampanyekan, dioptimalkan, dan diseminarkan. Tetapi selama pengelolaannya masih berada di bawah sistem sekuler yang menjadikan agama sekadar pelengkap moral, zakat tidak akan pernah berfungsi sebagai solusi struktural. Ia akan tetap menjadi simbol spiritual yang tidak mampu mengubah realitas ekonomi bangsa.

Solusinya bukan sekadar “optimalisasi zakat” dalam sistem sekarang, melainkan mengembalikan zakat pada fungsinya semula sebagai pilar ekonomi negara Islam. Dalam sistem khilafah, zakat menjadi bagian integral dari kebijakan fiskal, dikelola secara terpusat, transparan, dan berpihak pada keadilan sosial.

Kesejahteraan sejati tidak lahir dari sistem kapitalisme yang menindas atau sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, melainkan dari sistem ilahiah yang menjadikan wahyu sebagai pedoman. 

Selama sistem Islam belum ditegakkan, potensi zakat Rp28 triliun itu hanya akan menjadi angka di atas kertas. Tetapi dalam sistem Islam, ia akan menjadi energi peradaban yang memakmurkan manusia, menegakkan keadilan, dan menghapus kemiskinan dari muka bumi. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar