Topswara.com -- Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, manusia, hewan, dan tumbuhan tidak akan bisa bertahan. Namun, di tengah kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan paling dasar bagi semua makhluk hidup, muncul fenomena yang memprihatinkan kapitalisasi air.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana sumber-sumber air, termasuk mata air dan air tanah, dikuasai oleh segelintir perusahaan demi kepentingan bisnis.
Padahal, dalam pandangan Islam, air adalah milik umum yang seharusnya dikelola negara untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk memperkaya korporasi.
Air yang Dikuasai Korporasi
Fakta di lapangan menunjukkan banyaknya mata air di berbagai daerah yang kini tidak lagi bebas diakses masyarakat.
Air yang dulunya bisa digunakan oleh warga sekitar secara cuma-cuma, kini dipagari, dijaga, bahkan dipompa dengan mesin besar oleh perusahaan air minum dalam kemasan. Mereka mengebor air tanah dalam (akuifer) dengan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Kita mungkin tak sadar, ketika membeli sebotol air mineral, ada rantai panjang ketimpangan di baliknya. Perusahaan mengambil air dari alam secara masif, sementara warga sekitar sering kali justru kesulitan mendapatkan air bersih, terutama di musim kemarau. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang berhak atas air?
Dampak Ekologis yang Dihiraukan
Eksploitasi air tanah dalam memiliki risiko besar. Ketika air diambil berlebihan dari akuifer, permukaan air tanah akan turun drastis.
Akibatnya, mata air di sekitarnya bisa mengering, sumur warga menjadi dangkal, dan tanah berpotensi ambles. Selain itu, ekosistem di sekitar sumber air pun terganggu vegetasi mati, hewan kehilangan habitat, dan keseimbangan alam rusak.
Kerusakan ini bukan sekadar persoalan teknis lingkungan, tetapi juga dhoror (bahaya besar) bagi masyarakat. Islam menolak segala bentuk aktivitas ekonomi yang membawa kerusakan atau bahaya bagi manusia dan lingkungan.
Nabi Muhammad ï·º bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan” (HR. Ibnu Majah).
Prinsip ini seharusnya menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk air.
Ketimpangan Akses dan Ketidakadilan Sosial
Selain kerusakan ekologis, kapitalisasi air juga menimbulkan ketimpangan sosial. Di sekitar pabrik air minum, masyarakat justru sering mengalami krisis air. Ironisnya, truk-truk tangki perusahaan lalu lalang mengangkut air dari wilayah mereka, sementara warga harus membeli air galon untuk kebutuhan sehari-hari.
Di sinilah tampak wajah nyata sistem ekonomi kapitalis sistem yang menempatkan keuntungan di atas kemaslahatan rakyat.
Dalam logika kapitalisme, sumber daya alam adalah komoditas yang bisa dijual kepada siapa saja yang mampu membayar, bukan hak publik yang harus dijaga bersama. Akibatnya, masyarakat kecil menjadi korban, sementara segelintir pemilik modal menumpuk kekayaan.
Lemahnya Regulasi Negara
Masalah ini juga diperparah oleh lemahnya regulasi pemerintah. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi sumber daya air dari eksploitasi berlebihan.
Namun, hingga kini, kebijakan yang benar-benar tegas untuk menghentikan praktik kapitalisasi air belum terlihat nyata.
Bahkan, izin eksploitasi air tanah sering kali diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan atau kebutuhan masyarakat sekitar.
Regulasi yang longgar ini membuka ruang bagi korporasi untuk mengeksploitasi sumber air sesuka hati. Selama masih bisa membayar pajak dan retribusi, mereka dianggap sah untuk mengambil air sebanyak-banyaknya.
Padahal, air bukanlah barang dagangan biasa. Air adalah hak hidup setiap manusia, bukan hak istimewa bagi mereka yang berduit.
Pandangan Islam, Air Adalah Milik Umum
Dalam sistem Islam, air termasuk dalam kategori sumber daya milik umum (milkiyyah ‘ammah), sebagaimana sabda Rasulullah ï·º: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini menegaskan bahwa air tidak boleh dimonopoli oleh individu atau perusahaan. Negara dalam sistem Islam (khilafah) berkewajiban mengelola sumber daya ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk diserahkan kepada swasta.
Negara harus memastikan distribusi air berjalan adil, menjaga kelestarian sumbernya, dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Jika ada biaya yang perlu dikeluarkan dalam proses pengelolaan, negara bisa menutupnya dari baitul mal, bukan dengan menjual hak rakyat kepada korporasi. Dengan cara ini, air tetap bisa dinikmati seluruh warga, tanpa diskriminasi atau ketimpangan.
Etika Bisnis dalam Islam
Islam tidak menolak bisnis, tetapi menegaskan bahwa bisnis harus dijalankan dengan kejujuran dan tanggung jawab sosial. Dalam hal air, menjual air yang diambil secara berlebihan dari alam untuk keuntungan pribadi jelas melanggar syariat Allah. Apalagi jika praktik itu menyebabkan penderitaan bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan.
Dalam Islam, setiap bentuk usaha harus membawa manfaat dan tidak menimbulkan mudarat. Prinsip ini jauh berbeda dari sistem kapitalis yang berorientasi pada keuntungan tanpa batas.
Saatnya Kembali ke Sistem yang Adil
Kapitalisasi air adalah potret nyata bagaimana sistem ekonomi kapitalis telah gagal menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Ketika air sumber kehidupan menjadi barang dagangan, maka kemanusiaan pun perlahan terkikis.
Islam menawarkan solusi yang komprehensif: menjadikan air sebagai milik umum, dikelola negara secara amanah, dan didistribusikan adil untuk seluruh rakyat. Hanya dengan sistem yang berlandaskan pada syariat Islam, eksploitasi sumber daya seperti ini bisa dihentikan.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa air bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan amanah Ilahi untuk dijaga bersama. Karena tanpa air, kehidupan tidak akan pernah ada.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan

0 Komentar