Topswara.com -- Menuntut ilmu dalam Islam adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar. Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).
Namun, para ulama menjelaskan bahwa tidak semua ilmu wajib dipelajari setiap individu. Ada ilmu yang hukumnya fardhu kifayah, yakni jika sebagian umat sudah menguasainya maka gugurlah kewajiban dari yang lain, seperti ilmu kedokteran, pertanian, ekonomi, teknologi, dan lainnya. Tetapi ada ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, yang harus dipelajari setiap muslim secara pribadi.
Sayid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi (pengarang I’anatut Thalibin) menjelaskan dengan sangat indah:
“Fardhu ‘ain dalam menuntut ilmu adalah ilmu yang membuat ibadah kita sah, ilmu yang membuat akidah kita benar, dan ilmu yang membuat hati kita baik.”
Ungkapan ini sederhana, namun sesungguhnya mencakup inti kehidupan seorang muslim.
1. Ilmu yang Membuat Ibadah Kita Sah
Seorang muslim wajib shalat lima waktu setiap hari. Shalat adalah tiang agama. Namun shalat tidak akan diterima jika dilakukan tanpa ilmu. Begitu pula wudhu, puasa, zakat, dan haji.
Ilmu fikih dasar inilah yang menjadi fardhu ‘ain. Setiap orang harus tahu bagaimana wudhu yang sah, apa syarat dan rukun shalat, apa yang membatalkan puasa, dan seterusnya.
Refleksi:
Bayangkan seorang muslim rajin shalat, tetapi tidak mengetahui bahwa membaca Al-Fatihah adalah rukun shalat. Bertahun-tahun ia shalat tanpa membaca Al-Fatihah, berarti shalatnya tidak sah. Inilah bahaya ibadah tanpa ilmu.
Imam al-Ghazali menegaskan dalam Ihya’ Ulumuddin:
"Amal tanpa ilmu itu rusak, dan ilmu tanpa amal itu gila."
2. Ilmu yang Membuat Akidah Kita Benar
Akidah adalah fondasi agama. Tanpa akidah yang lurus, ibadah sekuat apa pun tidak bernilai. Seorang muslim wajib mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, meyakini sifat-sifat-Nya, serta mengimani rukun iman: Allah, malaikat, kitab-kitab, para nabi, hari akhir, dan qadha-qadar.
Ilmu tauhid ini bukan sekadar teori, melainkan pegangan hati agar tidak tergelincir dalam syirik, kufur, atau bid‘ah yang menyesatkan.
Refleksi:
Banyak orang beribadah, tetapi hatinya masih menggantungkan harapan pada selain Allah, percaya pada jimat, dukun, atau ramalan. Ini menunjukkan lemahnya ilmu akidah.
Imam Abu Hanifah berkata:
"Ilmu tentang tauhid adalah ilmu yang paling agung, karena dengan itulah ibadah diterima dan hati menjadi selamat."
3. Ilmu yang Membuat Hati Kita Baik
Inilah yang sering terlupakan: ilmu yang memperbaiki hati. Sayid Abu Bakar Syatha memasukkan tasawuf atau tazkiyatun nafs sebagai bagian dari fardhu ‘ain.
Setiap muslim wajib tahu bagaimana membersihkan hatinya dari riya, ujub, hasad, takabbur, cinta dunia, dan penyakit-penyakit batin lainnya. Tanpa ilmu ini, ibadah bisa rusak nilainya di sisi Allah.
Refleksi:
Betapa banyak orang shalat tetapi hatinya penuh kesombongan. Betapa banyak orang berpuasa tetapi lisannya tetap menyakiti. Betapa banyak yang rajin haji dan umrah tetapi tetap tamak pada dunia.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
"Hati yang kotor tidak akan sampai kepada Allah meski jasadnya rukuk dan sujud setiap waktu."
Kisah Inspiratif Ulama
Ada kisah dari Imam Malik bin Anas, guru besar Imam Syafi’i. Suatu ketika ada seorang pemuda datang kepadanya, sangat bersemangat mempelajari ilmu.
Imam Malik bertanya:
“Apakah engkau sudah belajar adab dan memperbaiki hatimu?”
Pemuda itu menjawab: “Belum.”
Imam Malik berkata:
“Kalau begitu, perbaikilah hatimu terlebih dahulu. Sebab orang yang belajar ilmu tanpa hati yang baik ibarat menanam di tanah yang kering. Tidak akan tumbuh apa pun.” Kisah ini menunjukkan bahwa ilmu fardhu ‘ain bukan hanya soal fikih, tetapi juga akhlak dan hati.
Penutup: Jalan Selamat dengan Tiga Ilmu
Sayid Abu Bakar Syatha mengingatkan kita bahwa jalan selamat dalam agama adalah menuntut tiga ilmu ini:
Pertama, ilmu fikih agar ibadah sah. Kedua, ilmu tauhid agar akidah benar.
Ketiga, ilmu tasawuf agar hati baik.
Tanpa ketiganya, seorang muslim bisa terjerumus: ibadahnya tidak sah, akidahnya menyimpang, atau hatinya rusak.
Refleksi Akhir:
Menuntut ilmu bukanlah pilihan, tetapi kebutuhan ruhani. Ia ibarat cahaya yang menerangi jalan hidup. Dengan ilmu, ibadah menjadi benar. Dengan ilmu, iman menjadi kokoh. Dengan ilmu, hati menjadi suci.
Semoga kita diberi kekuatan untuk terus belajar, memperbaiki amal, mengokohkan akidah, dan membersihkan hati.
Oleh: Dr Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo

0 Komentar