Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sekolah Rakyat, Solusi Pintas dalam Sistem yang Sekarat


Topswara.com -- Program Sekolah Rakyat digadang menjadi upaya memutus rantai kemiskinan yang berlangsung, sekaligus menjadi langkah strategis memberikan akses pendidikan berkualitas untuk anak-anak dari keluarga miskin atau miskin ekstrem.

Dalam sebuah forum yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), yang turut pula hadir Robben Rico selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial (Kemensos) memaparkan bahwa sebanyak 227.000 anak usia Sekolah Dasar (SD) di Indonesia belum pernah sekolah atau putus sekolah. 

Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) melonjak sebanyak 499.000 anak dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 3,4 juta anak. Sungguh angka yang mengejutkan!

Sekolah Rakyat bukan program dari Kemenkos, melainkan dari Presiden RI Prabowo diamanahkan melalui Kemensos dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025. Program ini mendapat dukungan dari Komdigi sebagai program prioritas nasional, dan akan menyelenggarakan 100 Sekolah Rakyat. 

Hal ini juga telah dikoordinasikan dengan Direktur Jenderal Infrastruktur, Supriyanto, untuk penyediaan segala penunjang termasuk mengerahkan LSM (kompas.com, 21/07/2025).

Dalam kesempatan lain dijelaskan pula, bahwa Sekolah Rakyat akan menerapkan sistem asrama, sehingga membutuhkan dukungan TNI-Polri untuk membantu pembentukan karakter disiplin dan tanggungjawab, disampaikan oleh Gus Ipul selaku Menteri Sosial RI, sebab kedisiplinan kunci meraih sukses, tukasnya (detik.com, 21/07/2025).

Pembangunan Sekolah Rakyat meliputi tiga tujuan utama yaitu percepatan pengentasan kemiskinan, memuliakan orang tidak punya, memberikan harapan kepada warga ekonomi bawah atau miskin ekstrim, untuk mendapatkan pendidikan yang setara. 

Akankah solusi ini nyata atau ilusi? Hanya sekedar menyenangkan dan mengambil hati rakyat agar terlihat ada program yang melibatkan orang kecil atau miskin ekstrem?

Sistem Kapitalis Solusi Tumpang Tindih

Sekolah Rakyat hadir bak angin segar untuk mengentaskan permasalahan bagi keluarga miskin dan miskin ekstrim yang selama ini sulit mengakses pendidikan berkualitas. Benarkah kemiskinan ini nyata dialami keluarga miskin ekstrim seperti yang disebutkan atau hanya sebuah kualifikasi saja, yang padahal mereka juga tidak menginginkan untuk di posisi seperti itu? 

Mirisnya, data yang ada puluhan hingga ratusan ribu anak putus sekolah dan tidak bisa sekolah. Ini angka-angka yang baru terupdate datanya, lalu yang tidak terupdate bagaimana?

Sekolah Rakyat memang akan fokus kepada pelayanan, dari mulai fasilitas hingga kebutuhan yang memadai bagi siapa saja yang masuk dalam program sekolah rakyat ini. Agar mereka fokus sekolah dan tidak memiliki beban. Sehingga tampak nyata upaya negara menghadirkan keadilan pendidikan bagi rakyatnya. Terlihat sangat menjanjikan. 

Namun jika ditelisik kembali, jika memang bentuk pelayanan negara mengentaskan kemiskinan rakyat, mengapa masih banyak orangtua yang menjadi korban PHK di mana-mana? Ditambah persaingan dan minimnya lapangan pekerjaan yang disediakan negara. Apakah ini sepadan? Anak-anak merasakan sekolah sedangkan orangtuanya terlunta mengais rezeki di negara kaya dan memiliki pemimpin negeri? 

Jika hanya menyelesaikan kemiskinan ekstrim dengan pengadaan sekolah gratis namun lapangan pekerjaan memang tidak memadai dan menjamin. Ini bagaikan memasak sayur tapi tidak memiliki panci dan wajan. Sayurnya tidak bisa dimasak dan tetap kelaparan karena tidak memiliki pendapatan. Solusi dengan masalah baru.

Inilah yang disebut dimiskinkan sistem atau kemiskinan struktural, mengapa? Sebab banyak yang luput dari penjaminan hidup yang harusnya menjadi tanggungan negara, tapi tertatih bak anak tiri. Bagaimana kemiskinan ini ternyata dibentuk dengan sengaja. 

Mulai dari kebutuhan pokok yang mahal, biaya hidup tidak murah, harga melambung tinggi, pekerjaan susah, gaji minim, pajak ditambah, korupsi di mana-mana, keadilan bisa dibeli, kriminalitas makin menjadi, apalagi? 

Inilah yang harusnya menjadi perhatian, karena tidak ada yang menginginkan dalam kondisi miskin bahkan miskin ekstrim. Namun, mereka terjebak dalam kehidupan bernegara yang menjadikan rakyatnya kepayahan.

Negara hari ini memang hanya menjadi penyambung atau regulator saja. Sebatas setelah disahkan aturan, dimulai pembenahan, dan kemudian berita lenyap akhirnya ditinggalkan. Semua survey, peninjauan, rencana seketika bubar. Gambaran negara yang tidak seutuhnya menjadi pengurus rakyat, tapi ada dana kita sikat. 

Mengapa jika Sekolah Rakyat gratis, tidak diberlakukan sama di semua jenjang sekolah? Agar mereka benar-benar merasakan keadilan yang sesungguhnya? Mengapa harus digambarkan di salah satu saja, padahal yang lain juga sama, fasilitas dan keperluan rakyat harusnya utuh dan penuh diberikan negaranya.

Kesejahteraan yang sebenarnya ketika rakyat dengan mudah mengakses dan mendapatkan haknya secara sempurna, bukan hanya di salah satu bidang saja. 

Namun hari ini segala lini kehidupan menjadi mendesak untuk diatasi agar bisa terselesaikan. Mungkin angin segar Sekolah Rakyat sedikit mengobati. Setidaknya ada peran dari negara meski belum tentu merata, sebab peninjauan masih panjang dan tentu dananya harus terus ada. Ini ibarat korban luka bakar hampir 90 persen namun baru bagian jari kaki yang bisa diobati. Perih. 

Kepalang basah, mungkin ini yang terjadi dalam kehidupan peradaban sekarang. Kehidupan yang katanya semakin maju tapi malah menjadikan manusianya jauh dari tabiatnya. 

Sekolah Rakyat memang gratis, namun banyak problem sekolah-sekolah lain. Seperti sekolah negeri atau atas nama yayasan terjebak dalam sistem. Kualitas pendidikan, tenaga pendidik yang merana dari sejahtera, sarana prasarana yang belum memadai, dan semua sistem regulasi yang belibet, sehingga mahal. Pemerataan belum tercapai untuk mendidik generasi yang layak dan siap di masa mendatang.

Dan kondisi ini harus diakui, selama sistemnya berlandaskan untung-rugi dan materi, demokrasi, liberal, dan kapitalis dalangnya, maka tidak akan ada permasalahan yang bisa tuntas. Namun, menambah lagi luka rakyat yang membekas, sebab dijanjikan untuk ditopang, tetapi ternyata tak imbang.

Solusi permasalahan negeri bukan dengan hadirnya Sekolah Rakyat gratis. Ini seperti tambal sulam karena masih banyak yang harus diselesaikan. Bagaimana kita bisa melihat merangkaknya program Makan Bergizi Gratis yang digadang menyolusikan dengan menjamin kebutuhan gizi yang cukup. Justru kini terlihat banyak persoalan. Akankah Sekolah Rakyat juga sama? 

Harusnya solusinya bisa menyentuh akar dan semua tertangani. Sekolah gratis, kebutuhan pokok terjamin, kesehatan, dan pendidikan memadai, hukum tegas dan tidak bisa dibeli. Pajak ditiadakan, lapangan pekerjaan terfasilitasi, gaji buruh sesuai jasanya. Tetapi tidak ada kata gratis dalam sistem kapitalisme hari ini, yang ada untung rugi. 

Negara hanya mau melakukan jika menguntungkan, sebab mahal parlemen yang mereka bangun dengan menghabiskan seluruh kantong pribadinya. Sudah kepalang. 

Islam Sistem Kehidupan yang Menyejahterakan 

Sekolah Rakyat bukan jaminan pengentasan kemiskinan ekstrem. Sebab rakyat hari ini dimiskinkan sistem. Mereka tidak menginginkan keadaan mereka yang kepayahan. Sehingga solusinya rakyat harus sejahtera bukan sekolah saja yang gratis.

Sistem kehidupan yang menyejahterakan hanya ada ketika negara merasa harus melayani dan rakyat mau dilayani. Tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang dizalimi. Saling melengkapi dan rida. Ketenangan pun hadir di dalamnya. Sistem ini hanya ada dalam Islam, sebab Islam menempatkan sesuai dengan kodrat penciptaan. Negara meriayah rakyat mengikutinya.

Sistem Islam memiliki pengaturan termasuk bernegara. Mengatur bagaimana kepemimpinan yang harusnya dilakukan oleh seorang kepala negara menjamin kebutuhan rakyatnya. Semua lini kehidupan diatur sebagaimana Pencipta menurunkan aturan kehidupan. Syariat Islam menjadi pedoman dalam pengaturan bernegara. Sehingga pemimpin hanya menjalankan aturan Pencipta bukan membuat aturan sesukanya.

Pendidikan dalam Islam sebagaimana kebutuhan yang lain, harus terjamin. Dalam buku Nizhamul Islam bab Rancangan Undang-Undang dibahas tentang politik pendidikan, bahwa pendidikan diberikan secara cuma-cuma, tidak bersyarat, dan merata. 

Kurikulum yang ada tercipta untuk menunjang kematangan berpikir dan jiwa yang salih bagi generasi. Generasi yang siap menjalani kehidupan dan menaati aturan Pencipta. Fasilitas yang ada pun layak dengan sarana prasarana memadai. Tenaga pendidik juga terjamin sehingga maksimal semua perannya.

Pendidikan menjadi tanggungan penuh negara, tidak memandang kelas sosial, kaya, miskin, atau menengah, sebab semua sama. Negara dalam Islam juga menempatkan pos-pos pengeluaran dan pemasukan negara secara jelas sehingga tidak terjadi kecurangan di dalamnya. 

Negara menjadi penyokong kesejahteraan rakyat, tidak menghitung untung-rugi. Negara dalam Islam mendapatkan sumber dana yang mumpuni, mulai dari pengelolaan sumber daya alam yang jelas tidak terinvensi asing dan peruntungannya untuk rakyat sepenuhnya.

Negara berkewajiban memberikan lapangan pekerjaan bagi yang membutuhkan terutama laki-laki balig atau seorang suami sebagai pencari nafkah. Ekonomi dalam negara Islam tidak lagi diatur asing yang hanya berpegang pada utang dan pajak. 

Namun ekonomi yang mandiri dan menyejahterakan. Pendistribusian harta yang jelas sesuai haknya dan pemenuhan kebutuhan yang terjamin sempurna.

Inilah gambaran negara sebagai junnah dan raain, negara yang melindungi dan mengurus rakyatnya. Ini semua tidak lain sebab pengaturan kehidupan dengan syariat Islam yang diterapkan dalam negaranya. 

Sehingga tidak hanya menyolusikan satu bidang saja, namun semua lini kehidupan diatur sebagaimana amanah Pencipta. Negara dengan syariat Islamlah yang mampu menjalankan dan menjanjikan tuntasnya permasalahan. []


Oleh: Nadia Fransiska Lutfiani
(Aktivis Muslimah Semarang)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar