Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perempuan dan Anak di Era Digital: Antara Ancaman Siber dan Solusi Islam Kaffah


Topswara.com -- Perubahan besar dalam dunia digital telah merevolusi cara manusia menjalani kehidupan, bekerja, dan berkomunikasi. Kehadiran teknologi seperti smartphone menjadikan dunia seolah berada dalam genggaman. Akan tetapi, kenyamanan ini membawa dampak negatif, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, pada 11 Juli 2025 menyoroti bahwa media sosial serta perangkat digital berkontribusi besar terhadap maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Beliau menegaskan bahwa minimnya kontrol dan pengawasan dari pihak dewasa terhadap aktivitas anak di dunia digital memperburuk situasi tersebut (tempo.co, 11 Juli 2025).

Data dari Kementerian PPPA tahun 2024 menunjukkan bahwa platform media sosial menjadi medium utama dalam penyebaran kekerasan berbasis gender. Bentuk kekerasan ini meliputi eksploitasi seksual, perundungan siber, pelecehan digital, hingga paparan konten pornografi sejak usia dini. 

UNICEF Indonesia dalam laporannya bertajuk Online Violence Against Children in Southeast Asia mencatat bahwa kekerasan daring terhadap anak-anak meningkat sebesar 45% selama masa pandemi dan sesudahnya (UNICEF Indonesia, 2023).

Lebih dari sekadar bahaya secara fisik maupun psikologis, penggunaan gadget secara berlebihan mengganggu kemampuan sosial anak, merusak moral, dan menciptakan kecanduan terhadap dunia maya. Ini bukan semata permasalahan teknologi, tetapi mencerminkan lemahnya nilai spiritual akibat sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.

Kebijakan Digital Negara dan Tanggung Jawab Sosial

Untuk menjawab tantangan ruang digital, pemerintah Indonesia telah merilis PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak (PP TUNAS). 

Regulasi ini dipublikasikan secara global dalam forum International Telecommunication Union (ITU) sebagai model ideal pengelolaan perlindungan anak di era digital.

KemenPPPA dalam laporannya tanggal 10 Juli 2025 mengungkapkan bahwa pemerintah juga menjalin kerja sama strategis dengan ITU, mencakup pengembangan kecerdasan buatan (AI), baik jaringan 5G dan 6G, serta pembinaan talenta digital di dalam negeri. 

Sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam masalah ini, pada tanggal 17 hingga 28 November 2025 mendatang, Indonesia akan bergabung dalam agenda World Telecommunication Development Conference di Azerbaijan (Kemenpppa.go.id, 10 Juli 2025).

Kendati kebijakan telah ditetapkan, pelaksanaannya belum sepenuhnya menyentuh akar masalah. Rendahnya literasi digital, kurangnya pendidikan berbasis nilai, dan lemahnya sistem penyaringan konten membuat dunia digital belum menjadi tempat yang benar-benar aman bagi anak-anak.

Islam Kaffah Menjawab Akar Permasalahan

Pandangan Islam memposisikan teknologi merupakan sarana yang harus diarahkan oleh sistem nilai yang benar. Dalam sistem sekuler yang memisahkan nilai agama dari urusan publik, kebebasan tanpa kendali menjadi pemicu kerusakan. 

Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Thaha ayat 124, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit...”

Tanpa pijakan akidah, ruang digital didominasi oleh ideologi liberal—menormalisasi seks bebas, kekerasan, gaya hidup konsumtif, hingga penyimpangan moral seperti LGBT, dengan dalih kebebasan berekspresi. 

Negara yang seharusnya menjadi penjaga akhlak justru tunduk pada logika pasar global. Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam menegaskan bahwa Islam adalah sistem hidup menyeluruh yang dapat mengatur segala aspek kehidupan, termasuk teknologi dan media.

Islam Sebagai Solusi Menyeluruh terhadap Ancaman Siber

Islam kaffah bukan hanya menawarkan norma moral, tapi juga solusi struktural dan ideologis. Berikut ini solusi Islam terhadap ancaman digital:

Pertama, negara sebagai pelindung umat. Rasulullah bersabda, "Imam adalah perisai, umat berperang, dan berlindung di belakangnya" (HR. Muslim). Negara Islam berkewajiban menjaga rakyat melalui penerapan sensor syar’i, pendidikan digital berbasis tauhid, serta pemutusan akses terhadap konten merusak.

Kedua, pendidikan berlandaskan akidah. Islam mendidik anak tidak hanya agar melek teknologi, namun juga membentuk karakter dan keimanan yang kuat. Sebagaimana firman Allah dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56 bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Sang Pencipta.

Ketiga, kemandirian teknologi digital. Negara dalam sistem Islam harus membangun ekosistem digital yang mandiri dari data center, perangkat lunak, hingga jaringan internet untuk menghindari dominasi teknologi dari negara asing.

Keempat, Qadi Hisbah sebagai pengawas siber. Qadi Hisbah bertugas menegakkan hukum syariah serta mengawasi ruang publik, termasuk dunia maya. Tidak ada ruang bagi konten pornografi, berita bohong, dan hal-hal yang merusak moral. Dalam QS. Ali Imran ayat 104, Allah menyeru agar ada sekelompok umat yang mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Kelima, evaluasi teknologi berdasarkan maqashid syariah. Setiap produk teknologi harus diukur dengan lima prinsip syariat: perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Teknologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini wajib ditolak.

Khilafah: Solusi Total atas Problematika Digital

Upaya parsial dalam menangani krisis digital tidaklah cukup. Hanya sistem khilafah yang dapat memberikan solusi menyeluruh baik dari segi ideologi maupun implementasi kebijakan. 

Firman Allah dalam Surah Al-Ma’idah ayat 50, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Dalam sejarah, pada masa Khilafah Abbasiah dan Utsmaniah, umat Islam memimpin kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kota seperti Baghdad dan Cordoba menjadi pusat kecemerlangan intelektual karena dibangun di atas sistem syariah.

Ajakan untuk Bangkit Membangun Peradaban

Saat ini, umat Islam tidak boleh pasif menghadapi derasnya arus digital. Sebaliknya, mereka harus menjadi agen perubahan yang membawa risalah Allah melalui perjuangan dakwah dan penerapan Islam secara menyeluruh. Sebagaimana Allah firmankan dalam Surah Al-Baqarah ayat 208 bahwa kita diwajibkan untuk berislam secara kaffah. []


Oleh: Lailatus Sa'diyah 
(Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar