Topswara.com -- Kasus korupsi di Indonesia semakin menjadi, belum tuntas proses hukum korupsi yang lama muncul lagi kasus korupsi yang baru.
Saat ini komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC). Dimana nilai proyeknya mencapai Rp 2,1 triliun, dan proyek ini sudah berlangsung sejak tahun 2020 hingga 2024. (beritasatu.com, 30-6-2025)
Sementara ini KPK menetapkan 5 orang tersangka dalam kasus proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara. Salah satunya Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting (TOP) dan tidak menutup kemungkinan KPK juga memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution dalam pengusutan kasus tersebut. (kompas.com, 7-7-2025)
Ironinya kasus korupsi ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran dan telah berdampak pada berkurangnya kualitas dan kuantitas layanan negara atas hak dasar rakyat dan pendanaan untuk sektor strategis, seperti penonaktifan penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN), pengurangan tunjangan kinerja guru, pengurangan dana riset, militer, dan bansos.
Seakan negeri ini kekurangan uang hingga harus melakukan efisiensi anggaran. Namun di sisi lain para pejabat mengkorupsi uang negara basar-basaran hingga ratusan triliun.
Ini bukti bahwa negara ini sebenarnya punya uang. Tapi uang tersebut tidak terdistribusi dengan baik untuk kebutuhan rakyat, melainkan di nikmati para pejabat dan kroninya. Akibatnya rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang sedangkan para pejabat dan kroninya berpesta pora dengan uang negara.
Negara berparadigma sekuler kapitalistik neoliberal telah gagal dalam mengurus urusan rakyat dan menyolusi seluruh problem kehidupan. Sistem sekuler kapitalistik yang kini diterapkan tidak bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat adil sejahtera buktinya maraknya korupsi di tengah efisiensi anggaran.
Sistem politik demokrasi gagal memberantas korupsi. Demokrasi justru menyuburkan politik transaksional. Dimana amanah kekuasaan hanya jadi alat transaksi antara pejabat dengan pemilik modal. Dampaknya, praktik korupsi membudaya pada semua level kehidupan masyarakat.
Korupsi bak kanker yang menggerogoti pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke desa-desa. Korupsi semakin mengakar hingga mustahil untuk diberantas jika masih bertahan dengan sistem politik dan ekonomi demokrasi kapitalisme.
Berbeda dengan Islam. Peradigma kepemimpinan berasas akidah menjadikan kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat, sarat dengan moral kebaikan dan praktek amar makruf nahi munkar serta terwujud masyarakat yang adil sejahtera.
Islam punya seperangat aturan yang jika diterapkan secara kaffah akan mampu meminimalisir minculnya kasus pelanggaran seperti korupsi dan penyalah gunaan jabatan.
Seseorang yang di amanahi jabatan akan menjalankan tugas dengan keimanan, menjalankan tugas sesuai syariat, berhati-hati mengurusi sesuatu yang bukan haknya dan tidak khianat dan mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sehingga tidak membuka celah kerusakan, termasuk pelanggaran hukum.
Sistem islam membentuk masyarakat taat syariat, mereka saling mengingatkan dalam kabaikan dan ketakwaan. Tidak akan terkadi korupsi berjemaah kerena masyarakat akan melakukan amar makruf nahi mungkar. Harta rakyat akan terdistribusikan secara lancar, adil kepada yang berhak. Tidak seperti sekarang, hanya dinikmati segelintir orang.
Adapun sanksi bagi koruptor adalah takzir, hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat ringannya hukuman sesuai berat ringannya kejahatan. Sanksi bisa berupa teguran lisan, tertulis, penjara, cambuk, pengasingan, hingga hukuman mati.
Fakta sejarah keemasan Islam menjadi bukti bahwa masyarakat ideal tanpa korupsi dan penyimpangan betul-betul bisa dicegah dan masyarakat hidup dalam kesejahteraan tanpa tandingan ketika Islam diterapkan dalam naungan khilafah islamiah.
Puput Weni T.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar