Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tarif Listrik Naik, Buah dari Kebijakan Liberalisme

Topswara.com -- Dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, kebijakan menaikkan harga listrik secara bertahap adalah pilihan telak. Pemerintah sendiri yang merumuskan kebijakan dengan memberikan ruang bagi swasta untuk terlibat dalam pelayanan kelistrikan kepada rakyat.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah mahalnya harga beras hingga membuat warga harus antre panjang ketika ada pasar murah sembako, kini tarif listrik dikabarkan akan mengalami kenaikan.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menetapkan tarif listrik untuk Maret 2024. Tarif listrik Maret ditetapkan bersamaan dengan pengumuman tarif listrik triwulan I pada Januari-Maret 2024.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman P Hutajulu. Dia mengatakan, pemerintah punya pertimbangan dalam penetapan tarif listrik Januari-Maret 2024.

Penyesuaian tarif tenaga Listrik memang dilakukan setiap tiga bulan. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penetapan tarif listrik, seperti nilai tukar mata uang dollar AS terhadap mata uang rupiah (kurs), Indonesian Crude Price, inflasi dan/atau harga batu bara acuan.

Listrik sebagai sumber energi seharusnya diberikan dengan harga murah atau gratis. Negara seharusnya mengelola sendiri kebutuhan energi rakyat ini. Sayangnya hari ini pasokan Listrik PLN juga tergantung pada pasokan swasta. Sementara swasta tentu orientasinya adalah keuntungan.
 
Naiknya tarif Listrik di saat harga pangan naik jelas akan menambah beban rakyat, apalagi juga marak adanya PHK. Kehidupan rakyat makin sulit.  Apalagi Dalam sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai raa’in (pengurus) sehingga rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Oleh karena itu kalaupun ada subsidi, sejatinya hanya sekedar tambal sulam, tidak akan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat.

Dengan demikian, penguasa selayaknya berperan sebagai pelayan rakyat. Sebagai pelayan rakyat, penguasa akan selalu mengutamakan kemaslahatan rakyat dan mengurusi urusan mereka. Ia tidak menyusahkan rakyat. Ia pun akan menjauhkan apa saja yang dapat merugikan, membahayakan, dan menyengsarakan rakyat.

Namun sayang, faktanya tidak demikian. Penguasa hari ini bukan pelayan rakyat, tetapi pelayan oligarki. Rakyat justru dipaksa untuk melayani kemauan dan kepentingan penguasa yang menjadi pelayan oligarki. 

Buktinya, banyak kebijakan yang diambil oleh penguasa lebih berpihak kepada oligarki dan justru makin memperburuk keadaan rakyat. Rakyat makin terbebani dan makin susah akibat ragam kebijakan penguasa yang zalim.

Semua kebijakan yang menambah beban rakyat yang sudah sangat berat itu tentu dirasakan sebagai kezaliman atas rakyat. Sayangnya kezaliman yang dirasakan oleh rakyat itu justru berasal dari pemerintah yang seharusnya mengurusi urusan rakyat dan mengutamakan kemaslahatan mereka.

Bukan sekadar kezaliman biasa, berbagai kebijakan yang selama ini menyusahkan rakyat dapat dianggap sebagai “kezaliman sistematis”. Pasalnya, berbagai kezaliman itu terjadi secara sistematis sebagai akibat dari sistem zalim kapitalisme-liberalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini.

Sistem zalim kapitalisme liberalisme mengharuskan agar peran dan campur tangan negara ditekan seminimal mungkin. Segala urusan harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam doktrin kapitalisme liberalisme, subsidi tidak boleh ada. Itu pun kalau benar merupakan subsidi. Subsidi dianggap sebagai beban dan menjadi problem ekonomi.

Dalam sistem kapitalisme liberalisme, pengelolaan SDA termasuk migas yang katanya adalah milik rakyat, tidak boleh dikelola negara, tetapi harus diserahkan kepada swasta dalam negeri dan asing. 

Pengelolaan hasil migas juga harus dilakukan menurut mekanisme pasar. Belum lagi tata kelolanya juga banyak masalah, seperti keharusan menggunakan trader yang mematok margin sesukanya, adanya mafia migas, dan lain-lain.

Sebagai akibat dari penerapan sistem kapitalisme-liberalisme ini kezaliman sistematis akan terus terjadi.

Terbayang bagaimana nasib rakyat kecil. Sudah susah untuk makan, banyak pula PHK dan pengangguran, kalau harga-harga kebutuhan terdampak naik, maka bisa dipastikan kehidupan rakyat kian sulit.

Wajar jika banyak yang mati kelaparan, angka kriminalitas pun meningkat tajam. Karena jika sudah berbicara urusan perut, andai tak diselesaikan, akan sanggup membuat manusia gelap mata dan menghalalkan segala cara.

Inilah buah busuk penerapan sistem kapitalis. Segala kebutuhan rakyat tak ada yang gratis. Bahkan, hubungan penguasa dan rakyat pun tak ubahnya seperti berbisnis. Konglomerat dan para pejabat bisa senang duduk manis, sedangkan rakyat ibarat pengemis yang penuh jerit tangis.

Padahal listrik itu adalah milik rakyat, negara hanya pengelola. Mestinya rakyat tidak dipersulit dengan harga listrik yang melangit. Namun, di sistem saat ini, penguasa bak pedagang, yang dipikirkan hanya untung rugi meski terhadap rakyatnya sendiri.

Sungguh berbanding terbalik dengan pengaturan dalam sistem Islam. Dimana listrik adalah kepemilikan umum (milik rakyat), maka wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dengan menjamin pemenuhan kebutuhan energi rakyat.

Maka, haram hukumnya harta yang merupakan milik umum dikuasai oleh individu, apalagi diserahkan kepada asing. Negara pun wajib mengelolanya semata untuk menjalankan amanahnya. Bukan untuk memperjualbelikannya. Apalagi sampai membuat kesusahan rakyatnya.

Ingatlah, penguasa itu adalah pemimpin yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya. Maka wajib amanah dan melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Sungguh hanya sistem Islam yang mampu memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Juga kemampuan dalam menjamin kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan energi (listrik). Maka, tidak ada sistem terbaik selain sistem Islam. Semoga bisa kembali diterapkan.

Wallahu alam bishawab.
 

Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar