Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Generasi Mudah Jadi Pembantai, Buah Penerapan Sekularisme

Topswara.com -- Brutal tidak terkira, bagaimana bisa seorang remaja di Penajam, sebut saja J (16 tahun) yang masih duduk di sebuah SMK, menghabisi nyawa sekeluarga yang berisi ayah, ibu, dan ketiga buah hati mereka dengan parang tidak bergagang sepanjang 60cm. 

Pembunuhan ini bermula dari seringnya cekcok dalam pertetanggaan antar korban dan pelaku, diantaranya adalah masalah ternak, ayam dan anjing dimana pelaku mempunyai anjing sedangkan korban tidak suka dengan keberadaan anjing tersebut. 

Bahkan alasan yang terakhir disebutkan adalah masalah sepele terkait peminjaman helm yang belum dikembalikan. Ada pula yang menyebutkan, pelaku dendam karena hubungan asmaranya dengan salah satu korban yaitu R (15 tahun) tidak disetujui ayah R. 

Namun, hal tersebut dibantah oleh paman R, Randi. Menurut Randi, apabila keponakannya dekat dengan cowok pasti ngomong sama dia. Pada sumber yang lain menyebutkan, pelaku memang dendam karena cintanya ditolak oleh korban. (www.toraja.tribunnews.com, 06/02/2024)

Pembunuhan yang sangat mengerikan ini termasuk berencana, karena sebelum melakukan aksinya, pelaku terlebih dahulu mematikan listrik rumah korban dengan menurunkan meteran dan datang dalam kondisi mabuk. Bahkan bukan itu saja, selain membunuh kelima korbannya, pelaku juga memperkosa mayat salah satu korban dan mencuri uang beserta ponsel korban.

Bagaimana bisa seorang remaja berkelakuan sebrutal itu? Tentu pertanyaan ini melintas dalam benak kita. Dahulu, ikon penjahat dan pembunuh adalah sosok dewasa yang mungkin menjelang tua, namun jaman sudah berkembang kearah yang mengerikan, sosok remajapun yang dimata masyarakat dipandang belum dewasa, ternyata mampu menjadi pelaku pembunuhan berantai dan berencana satu keluarga.

Bagaimanakah dengan kondisi orang tuanya, apakah selama ini sudah mengajarkan nilai-nilai agama dalam kehidupan? Bagaimana lingkungan bergaulnya, tontonan kesehariannya, lingkungan masyarakatnya, dan Pendidikan di sekolahnya? Inilah segerombol pertanyaan yang harus kita analisa bila kita ingin mencari Solusi untuk generasi kita supaya tidak terjadi lagi kasus-kasus maupun sosok J yang lain. 

Pelaku juga dalam kondisi mabuk, lagi-lagi bagaimanakah pergaulan remaja sekarang sehingga bisa mendapatkan minuman keras (miras)? Semudah itukah miras beredar di masyarakat sehingga membuat siapa yang menenggaknya bisa melakukan kejahatan luar biasa? Miras di negeri ini memang tidak dilarang sepenuhnya, hanya diatur saja ijin produksi dan peredarannya. Bahkan menurut Tirto.id (02/03/2021), Presiden Jokowi resmi melegalkan investasi industri minuman keras dalam Perpres no.10 tahun 2021 tentang Badan Usaha Penanaman Modal.

Hal tersebut tentu bukan hal yang mengejutkan, meski mayoritas penduduk di negeri ini Muslim, yang notabene mengharamkan minuman keras seberapapun kandungan alkoholnya, serta meski sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, nyatanya kedudukan Tuhan tidak serta merta dijadikan sebagai sumber hukum. 

Tuhan hanya boleh mengurusi perihal ibadah dan urusan yang berkenaan dengan pernikahan dan prosesi kematian semata. Sedangkan aturan-aturan publik ditangani oleh manusia sendiri yang membuatnya.

Seperti itulah gambaran sekularisme dimana Tuhan diakui keberadaannya, namun aturannya tidak dipakai oleh manusia. Sekularisme sendiri lahir di Eropa dimana saat itu kaum gerejawan yang bersekutu dengan para penguasa, mendominasi kehidupan lewat dogma-dogma. 

Sedangkan kaum intelektual merasa hal tersebut mengekang kemajuan ilmu dan teknologi sehingga mereka merasa harus berkompromi demi kemajuan kehidupan bangsa di Eropa. 
 
Seharusnya umat Islam belajar dari sejarah kegemilangannya sendiri karena Islam tidak mempunyai sejarah kelam menyangkut ajarannya. Kalaupun ada hal-hal yang tidak ideal itu hanyalah seputar kesalahan penerapan oleh manusianya. Ketika islam diterapkan, justru membawa kemajuan peradaban yang luar biasa dalam kehidupan dimana kemajuan Eropa sebenarnya fondasinya diambil dari ilmu-ilmu pengetahuan yang terlebih dahulu ditemukan dalam peradaban Islam sebelumnya.

Seharusnya, tidak ada alasan sedikitpun untuk mengambil sekularisme yang melahirkan sistem kapitalisme dan demokrasi ini untuk dijadikan landasan kehidupan. Kerusakan demi kerusakan sudah tiada terhitung dan terbendung di segala lini kehidupan, termasuk perkembangan moral generasi yang sudah sedemikian parahnya.  

Sulit rasanya menyelesaikan satu permasalahan ataupun semua permasalahan bila tidak sampai menyentuh akarnya, yaitu mengganti sistem sekular ini dengan sistem yang berlandaskan aturan Allah SWT. Sampai terjadinya kasus remaja J akan menyangkut banyak variabel penyebabnya. 

Pola asuh orang tua, akhlak orang tua, kondisi masyarakat dan lingkungan, tontonan, pergaulan, pendidikan yang ia peroleh, hukum yang dijalankan dalam masyarakat, dan sebagainya yang kesemuanya itu saling terkait dan tak berdiri sendiri.

Dalam lingkungan sekular, wajar bila semua hal serba tidak mendukung seorang anak menjadi sholih alias malah justru sebaliknya. Situasi dan kondisi dalam variabel-variabel di atas membentuk dan mendorong anak melakukannya. 

Manusia tidak mengenal siapa Tuhannya, apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang makhluk atau hamba, bagaimana cara dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan yang diajarkan oleh agamanya. Sungguh sistem saat ini menjauhkan manusia dari fitrah kemanusiaannya.


Oleh Ratna Mufidah, S.E.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar