Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengajari Anak Berpikir Benar


Topswara.com -- Bernahkah ayah bunda mendapati anak-anak yang sulit dinasihati? Seing anak-anak taat hanya di depan kita. Di belakang kita mereka berbuat sebaliknya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ayah bunda, ini artinya mereka belum menerima dan mengambil nasihat kita sebagai sebuah kebenaran yang harus diyakini. Karena itu bisa dipastikan mereka tidak bersungguh sungguh dalam mengamalkan nasihat kita. 

Mereka tidak akan bisa ‘ajeg’ dalam beramal. Ini karena belum paham mana yang seharusnya mereka lakukan dan mana yang seharusnya mereka tinggalkan. Mungkin dalam hati mereka berkata, “Itu benar menurut Bunda, tetapi tidak menurut saya.”

Lalu apa solusinya? Tidak lain mengajak anak menggunakan akalnya untuk berpikir benar.

Apa Itu Berpikir Benar?

Berpikir benar adalah memahami fakta dengan benar, kemudian mengaitkan fakta tersebut dengan ma’lumat tsabiqah (informasi sebelumnya).

Berpikir benar membutuhkan empat hal: fakta yang bisa diindera, indera (mata, telinga dan sebagainya), otak, dan ma’lumat tsabiqah. Ma’lumat tsabiqah inilah yang akan menentukan harus bagaimana menyikapi fakta tersebut. Seorang Muslim sudah seharusnya menjadikan ajaran Islam sebagai ma’lumat untuk bisa menyelesaikan berbagai fakta yang ada di depan kita.

Rasulullah Muhammad SAW. telah mengajari kita untuk selalu berpikir benar, yaitu menyelesaikan seluruh permasalahan sesuai dengan ketetapan dan hukum Allah SWT. 

Ketika mendapati fakta tertentu, sementara beliau tidak memiliki informasi hukum terkait fakta tersebut, maka beliau menunggu wahyu turun. Beliau menangguhkan suatu keputusan hukum sampai wahyu turun. Ketika kebenaran wahyu tersebut telah diterima, beliau segera menyampaikannya kepada kaum Muslim dan mendorong mereka untuk mengamalkannya.

Itulah berpikir benar. Itulah yang seharusnya dilakukan setiap Muslim. Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh anak-anak kita.

Berpikir benar akan membuat seorang anak berbuat dan berperilaku sesuai Islam. Tanpa disuruh ataupun dipaksa. Kalaupun kadang berbuat salah, itu bukan disengaja. Bisa jadi karena ia tidak tahu, atau lupa, atau tidak sengaja mengabaikannya.

Misalnya, ada seorang anak perempuan yang sudah memiliki ma’lumat tsabiqah bahwa rambut dan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan harus ditutup. Dia pun paham, yang demikian akan mengantarkan dirinya untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya. 

Saat demikian anak tersebut akan berusaha untuk terus memakai kerudung dan jilbabnya, baik ada ayah bundanya ataupun tidak ada keduanya. Ayah bundanya tidak perlu memaksa dirinya. Pasalnya, ia melakukan itu dengan kesadarannya, bukan karena terpaksa.

Mengajari Anak Berpikir Benar

Agar anak mampu berpikir benar, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, memahamkan anak, apa itu berpikir benar, dan mengapa kita harus berpikir benar. 

Berpikir benar adalah aktivitas utama yang seharusnya dilakukan manusia. Allah SWT memberikan predikat ulul albab (kaum yang berakal) kepada manusia yang mau menggunakan akalnya untuk berpikir. Dengan itu mereka bisa memahami tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di langit dan bumi. Itulah yang kemudian mengantarkan dirinya mengimani dan menyembah hanya kepada Allah SWT (Lihat: QS Ali Imran [3]: 190-191).

Inilah aktivitas berpikir benar yang pertama kali harus ada pada diri anak kita, yaitu siapa yang harus disembah? Juga mengapa dia harus menyembah? Dengan berpikir benar, anak-anak kita akan menyembah hanya kepada Allah SWT serta tunduk dan patuh pada semua syariah-Nya.

Kedua, mengajak anak selalu berpikir benar dalam memenuhi semua kebutuhan dan menyelesaikan semua masalahnya. Kita bisa mengajak anak memahami fakta dengan baik, kemudian mengaitkannya dengan ma’lumat tsabiqah. 

Kita ajak untuk memperhatikan apakah yang dia pikirkan benar ataukah salah. Ketika itu sudah benar, kita dukung apa yang sudah dilakukan. Ketika salah, kita bimbing dia untuk bisa melakukan bagaimana yang seharusnya sesuai dengan Islam.

Misalnya, anak yang merasa berat untuk  shalat  berjamaah di masjid. Kita perlu menggali terlebih dulu, mengapa ia merasa berat. Bisa jadi ia belum merasa butuh. Ia masih bingung, “Mengapa aku harus shalat berjamaah?” Atau bisa saja ia berat karena disuruh ke masjid ketika sedang asyik bermain dengan teman-temannya. “Mengapa hanya aku yang disuruh shalat berjamaah, sementara teman-temanku tidak?” Mungkin itu yang ada di benaknya. Atau mungkin saja ia sedang melakukan aktivitas lain, seperti mengerjakan PR, atau yang lainnya.

Kita perlu urai satu-persatu masalahnya. Kita harus jelaskan bagaimana pemikiran dan hukum Islam terhadap masalah  tersebut. Kita ajak ia berpikir, mengapa ia harus shalat berjamaah. Kita gambarkan  betapa besarnya pahala dan kemuliaan yang akan didapatkan dengan shalat berjamaah di masjid dibandingkan shalat sendiri di rumah.

Kita ajak berpikir juga, bagaimana cara mengatur waktu agar ia bisa shalat berjamaah di masjid, sementara ia juga punya waktu bermain dengan teman atau mengerjakan tugas lainnya. Bahkan akan lebih baik jika ia bisa mengajak teman-temannya untuk shalat berjamaah bersama dirinya di masjid.

Dengan berpikir benar, kita tidak hanya mampu membantu anak menyelesaikan urusannya sendiri, tetapi juga mampu mengarahkan mereka untuk memiliki sikap peduli dengan orang lain, peduli dengan orangtuanya (birrul walidayn),  bahkan juga peduli dengan urusan umat. Kita bisa ajak anak-anak kita untuk berdiskusi masalah keumatan sebagai bagian untuk mengajarkan dan membiasakan mereka berpikir benar.

Jangan pernah merasa bosan menjawab pertanyaan anak karena itu berarti ia belum paham. Bagaimana mungkin kita meminta anak kita melakukan sesuatu, sementara ia tak paham mengapa itu harus ia harus lakukan.

Mengajari anak berpikir benar bukanlah hal yang mudah dan bisa segera kita dapatkan hasilnya. Bisa jadi ada anak yang langsung paham, kemudian mengerjakannya dan istiqamah dengan apa yang dia yakini. Namun, ada juga anak yang butuh proses cukup lama untuk paham, kemudian melakukannya tanpa kita suruh atau kita minta.

Ketiga, memperbanyak pengetahuan anak berkaitan dengan pemikiran dan syariah Islam. Hal ini akan memperbanyak ma’lumat tsabiqah, yang akan memudahkan anak berpikir benar. Di sinilah pentingnya anak  belajar tsaqafah Islam seperti  belajar akidah, akhlak,  adab, fikih, sirah nabawiyah, Al-Qur'an dan al-Hadis dan lain lain.

Sebagian orang tua sering tidak peduli apakah anaknya paham agama atau tidak, anaknya taat syariah ataukah tidak. Yang penting nilai rapornya bagus. Bahkan ada juga orang tua yang mencukupkan diri memotivasi anak untuk menghapal Al-Qur'an semata, tanpa perlu tahu apa kandungan ayat ayatnya. Tentu ini tidak tepat. 

Justru di dalam kandungan ayat-ayat tersebutlah ada berbagai pemikiran dan hukum Islam yang seharusnya diketahui anak. Itulah yang akan menjadi ma’lumat tsabiqah. Itu pula yang akan dijadikan standar untuk menilai dan menyikapi berbagai fakta yang dihadapi anak dalam kehidupannya, baik sekarang ataupun nanti ketika ia dewasa.

Karena itu penting bagi kita untuk terus mengajarkan anak berbagai hukum Islam. Kita bisa ajak mereka menghadiri majelis ilmu, melihat tayangan keislaman, atau membuat kajian sendiri di rumah dan sebagainya. Inilah yang akan menjadi bekal bagi mereka untuk bisa berpikir benar. Inilah  yang akan membawa dirinya pada kebaikan, dunia maupun akhirat.

Khatimah

Ayah bunda, mengajari anak berpikir benar tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu, juga perlu peran kita sebagai orang tua untuk terus membantu dan mengarahkan mereka agar selalu berpikir benar dan mencari solusi Islam atas semua masalah mereka.

Kita juga harus memperhatikan usia anak anak kita. Ketika mereka belum balig, mereka belum sempurna akal mereka. Tentu mendidik mereka tidak cukup hanya dengan mengajak berpikir benar, tetapi juga harus disertai dengan hal-hal lainnya seperti memberikan keteladanan, pembiasaan, kontrol dan tentu doa yang terus-menerus agar ketika sudah balig nanti ia sudah mandiri dalam berpikir benar. Akhirnya, ia akan melakukan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya dengan penuh kesadaran. Tanpa paksaan dan tanpa ancaman.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab.


Oleh: Ustazah Wiwing Noeraini
Pemerhati Keluarga dan Generasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar