Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengenang Aksi Bela Islam 411: Ketika Orasi dan Doa Dibalas Hujan Gas Air Mata


Topswara.com -- Aksi 411 atau Aksi Bela Islam 4 November 2016 menjadi catatan sejarah tentang perjuangan umat Islam di Tanah Air dalam membela agamanya. Jutaan umat Islam dari berbagai daerah mendatangi ibukota, menuntut keadilan. Umat meminta penegakan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah lancang menistakan Al-Qur’an. 

Meski posko-posko umat Islam yang akan menurunkan massa didatangi aparat, meski tersiar kabar berbagai pihak termasuk NU dan Muhammadiyah dibujuk rayu hingga secara resmi kedua ormas besar itu mengumumkan tidak akan ikut Aksi Bela Islam 411, tetap saja jutaan orang bersemangat mengikuti aksi. Bujuk rayu, suap, teror, fitnah, hingga ancaman yang ditebar agar rencana Aksi 411 batal digelar, faktanya gagal total.

"Secara logika, kalau sudah digembosi begitu, tidak akan banyak orang yang akan ikut aksi. Tetapi faktanya, begitu masuk hari Jumat, tanggal 4 November 2016, jutaan umat Islam datang dari berbagai penjuru. Itu nyata, Saudara," ujar Habib Rizieq Shihab (HRS) di salah satu ceramahnya, dikutip Topswara dari kanal YouTube "Islam Bersatu-Islam yang Satu".

"Tidak ada tangan manusia yang mampu ikut campur dalam Aksi 411, kecuali hanya kekuasa Allah yang bicara di sana," imbuh HRS dalam unggahan 5 lalu tersebut.

Di bawah komando ulama, jutaan umat Islam itu bersatu, bergerak menuju Istana Negara untuk membela Al-Qur'an, membela Islam. Umat Islam dari berbagai latar belakang, tua, muda, ibu-ibu juga anak-anak hari itu tumpah di jalan-jalan juga Masjid Istiqlal dan sekitarnya. Tetapi mereka tetap tertib berdoa, berdzikir, bershalawat, mengaji, juga mendengarkan ulama-ulama berorasi. Selama itu, ada yang membagikan makanan, minuman, juga Al-Qur'an. K.H. Abdullah Gymnastiar (AA Gym) menurunkan 1500 santri untuk membersihkan masjid, jalan, dan seluruh lokasi aksi. 

Meski namanya Aksi Bela Islam, tak ada orang kafir yang diganggu. Meski Ahok yang dituntut untuk diproses hukum itu beragama Kristen, tetapi tidak ada satu pun orang Kristen lain yang diganggu. Bahkan, di antara jutaan insan yang berdesakan itu, umat Islam membantu membuka jalan bagi pengantin Nasrani yang akan melangsungkan pernikahan di gereja katedral. 

Sejak pagi massa berdatangan dengan tertib. Usai shalat Jumat massa bergerak menuju Istana Negara. Mobil komando yang berisi para ulama juga bergerak perlahan dari Istiqlal menuju Istana. Awan berarak perlahan seolah sengaja memayungi peserta aksi, membuat sinar mentari seakan kalah hangat dari semangat umat membela agamanya. Ada saksi yang menyatakan awan-awan itu membentuk lafaz Allah. 

Semesta hari itu membuktikan bahwa Allah Maha Besar. Awan, bayu, surya, dan hujan adalah milik Allah, tunduk hanya kepada Allah, terjadi semata atas izin Allah. Meski dikabarkan beberapa hari sebelum aksi petugas telah menyebar ribuan ton garam di langit Jakarta untuk mempercepat hujan, pada 4 November 2016 hujan tidak turun sebagaimana diprediksikan.

Sejak hari Rabu BMKG telah mengumumkan bahwa Jumat, 4 November, Jakarta diperkirakan diguyur hujan deras disertai petir dan berpotensi banjir. Namun, informasi BMKG tersebut tak sedikit pun menggentarkan umat Islam. Rasa khawatir akan hujan petir hilang oleh amarah atas lambannya proses hukum terhadap penista kalam Allah. 

Namun, betapa besar pun amarah itu, umat Islam tetap meluapkannya dengan cara yang baik. Jutaan orang itu menunjukkan kepada dunia bahwa Islam agama damai. Islam mengajarkan tentang akhlak yang baik. Meski upaya-upaya provokasi dijumpai di beberapa titik sejak khutbah Jumat dimulai, massa tetap tenang. Kerusuhan tidak terjadi.

Massa tetap patuh pada komando ulama, habib, dan kiai-kiai panutan mereka. Para ulama terus mengingatkan agar tidak rusuh. Mereka tunduk pada komando para ulama.

Sampai-sampai, di depan Istana Negara diletupkan kerusuhan kecil yang memancing emosi kelompok mahasiswa. Namun, letupan itu tak berhasil memprovokasi massa lainnya.

“Jangan. Jangan salahkan mahasiswa sedikit pun! Mahasiswa tidak salah. Saya yang paling depan. Saya yang pegang komando. Saya lihat siapa provokatornya,” pesan Habib Rizieq dalam ceramahnya itu.

Hari itu, mahasiswa sempat terpancing emosi. Utamanya, saat diketahui Presiden Jokowi tidak mau menerima kedatangan umat Islam. Meskipun kabar Aksi 411 sudah diketahui beberapa hari sebelumnya, tetapi orang nomor satu yang mestinya paling bertanggung jawab menegakkan keadilan di Indonesia itu justru memilih tidak menemui ulama dan jutaan umat Islam.

Meski ada letupan kecil itu, massa tidak terprovokasi. Massa tetap bertahan meski mentari sudah tenggelam. Mereka terus melanjutkan aksi, zikir dan doa terus dilantunkan. Ulama silih berganti berorasi, juga mengingatkan agar tetap tenang, tidak menyerang. Bisa dibayangkan jika mereka tidak tenang. 

Hingga malam tiba massa masih bertahan di depan istana. Mereka yang menahan lelah masih dalam kondisi berdesakan, tidak bergerak sedikit pun. Mereka lelah. Mereka lapar. Kepala mereka pening. Aparat berusaha membubarkan. Tetapi mereka tetap bertahan. 

Rembulan beranjak meninggi. Pepohonan yang jadi paru-paru ibukota makin membuat sengit perebutan oksigen bagi massa yang padat. Kondisi lapar, haus, lemah, lelah dan pusing itu pasti sangat berbahaya. Terlebih bila mereka terprovokasi, lalu panik, pasti akan kacau, saling injak satu sama lain. 

Sayang. Alih-alih empati, aparat tak sabar menjaga umat Islam yang terus berdoa. Umat yang lelah, lapar, haus, meluapkan kecewa dalam lantunan doa itu mereka berondong dengan gas air mata. Parahnya, ditemukan selongsongnya warna merah, menandakan bukan gas air mata untuk membubarkan massa demonstrasi. 

Satu demi satu gas air mata keluar dari selongsongnya. Ada yang ditembakkan ke atas. Tetapi tak sedikit diarahkan ke peserta aksi. Makin lama, gas air mata tak lagi ditembakkan satu demi satu. Seolah tak mengindahkan prosedur, massa diberondong. 

“Tetapi ini kemarin, sudah enggak pakai itu protap. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Saudara. Mereka berondong itu gas air mata. Bertubi-tubi. Sebagian ke atas. Sebagian kepada para pendemo, Saudara. Biadab. Jadi saya katakan, itu adalah pembantaian. Jika tidak ada pertolongan Allah saat itu, saya yakin, ratusan bahkan ribuan umat Islam sudah mati bergelimang darah,” ujar Habib Rizieq.

Massa panik. Mereka lari menyelamatkan diri. Serbuk gas air mata mengepul. Sebagian massa terinjak. Sebagian lainnya terus berlari. Tak hanya gas air mata, peluru karet juga ditembakkan ditembak langsung. Ada juga peserta aksi yang dipentungi. 

Motor-motor trail pun tak luput jadi sarana membubarkan massa. Motor itu menubruk massa. Menggilas mereka. Melindas mereka. Ada peserta yang kakinya patah. Lebih dari 200 peserta pingsan. Umat Islam saling tolong. Melihat saudaranya jatuh, mereka gotong. Mereka bahu-membahu pemberi pertolongan, menaikkan korban ke ambulans hingga membawanya ke rumah sakit. 

Dua orang peserta akhirnya menjadi syuhada, tak tertolong meski telah dibawa ke rumah sakit. Jika bukan karena pertolongan Allah, mendapati perlakuan sedemikian rupa, bukan hanya dua yang meninggal dunia, tetapi ratusan bahkan mungkin ribuan yang mati.

Malam terus beranjak. Tembakan gas air mata belum juga disudahi dari upaya membubarkan massa. Tak sedikit umat Islam yang tetap bertahan dengan sisa tenaga mereka. Kepanikan bisa menambah jumlah korban. Meski korban berjatuhan, massa bergeming mengikuti para ulama yang tetap bertahan di mobil komando. Mereka bertekad tidak akan membubarkan diri dari depan Istana hingga aparat menyudahi, bahkan sampai peluru aparat habis. 

“Jangan menyerang! Jangan menyerang! Kalau kita menyerang, kita yang akan disalahkan,” pekik Habib Rizieq.
 
“Jangan menyerang! Bertahan! Duduk! Kita lawan dengan bertahan, sampai peluru-peluru mereka habis.”

Habib Rizieq terus mengigatkan peserta aksi agar tidak terpancing emosi. Habib Rizieq bersama para kiai lainnya yang berada di atas mobil komando pun tak luput dari sasaran gas air mata secara bertubi-tubi. Habib Rizieq terus memperingatkan peserta aksi. Ia memimpin doa, memohon pertolongan kepada Allah.

Hujan gas air mata membuat para kiai mual dan muntah. Mata mereka pedih, berlinang air mata. Mata dan hidung mereka perih. Keluar semua cairan dari hidung. Mereka merasakan kulitnya panas seakan terbakar. Nafas pun sesak.
Satu per satu para kiai itu tumbang. Pingsan. Syaikh Ali Jabeer pun pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Habib Rizieq merasa tak sekuat mereka. Jika bukan karena pertolongan Allah, bisa jadi HRS orang pertama yang tumbang di atas mobil komando itu. 

“Ya Rabb, saya sudah tidak kuat. Saya tidak sekuat mereka. Saya tidak kuat. Yaa Qowwi, kuatkan aku,” pinta Habib.

Habib terus bermunajat kepada Allah dan berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Ia berjibaku meraih semua mikrofon yang ada di mobil komando. Kalau sampai semua kiai tumbang, ia juga tumbang, lalu mikrofon diambil alih laskar-laskar yang bertahan di belakangnya, habib khawatir laskar itu akan menyerukan perlawanan, lalu massa menyerang aparat karena ulamanya telah menjadi korban. 

Habib khawatir akan terjadi pertumpahan darah. Di tengah hujan gas air mata itu, Habib terus memimpin umat Islam untuk membaca doa agar Allah menyelamatkan semuanya. Atas izin Allah, tiba-tiba ada angin. Angin membawa gas air mata itu ke arah aparat. Sampai-sampai mengenai Pangdam hingga ia terjatuh, nyungsep. Kapolda juga terkena. Allah kembalikan gas itu kepada aparat.

Namun begitu, aparat terus menghujani umat Islam dengan tembakan. Saat itu, dari pengeras suara masjid yang di dekat Istana terdengar seruan Kapolri, "Saya, Jenderal Tito Karnavian, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, menginstruksikan kepada seluruh pasukan, setop tembakan! Setop tembakan!" 

Namun, pasukan tak berhenti menembak. "Setop tembakan! Setop! Setop!" Kapolri mengulang instruksinya hingga tiga kali. Tetapi pasukan tetap memberondong peserta Aksi Bela Islam.

Akhirnya, panglima TNI pun mengambil alih. “Saya jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima Tentara Nasional Indonesia, menginstruksikan kepada seluruh pasukan, Hentikan tembakan! Hentikan tembakan! Kita bersaudara! Jangan menembaki rakyat! Hentikan tembakan!” seru Panglima TNI.

Sayang, meski Kapolri dan TNI sudah menginstruksikan, pasukan tetap menembak. Mereka tak menaati komandan tertinggi mereka. Menyaksikan itu, Habib Rizieq menilai, artinya ada komando lain yang menyusupi aparat.

Dengan lantang Habib Rizieq lalu meneriaki aparat dengan mikrofon yang ada di genggamannya. Meski pengeras suara mobil komando dayanya sepuluh kali lebih kecil dari pengeras suara yang digunakan dua jenderal sebelumnya, ternyata justru seruan Habib Rizieq itu berhasil membuat aparat berhenti.

“Hei Tentara! Hei, Polisi! Hei, Pasukan! Setop! Jangan tembaki rakyat! Kau dengar itu panglimamu, jenderalmu sudah menginstruksikan. Kalau kalian masih menembak, berarti kalian disusupi. Awas penyusup di tentara. Awas penyusup di polisi!” teriak Habib Rizieq.

Seketika tembakan berhenti. Begitu mulai berhenti, Menkopolhukam keluar dari istana. Ia meminta untuk bertemu Habib Rizieq yang masih berada di mobil komando. Menkopolhukam Wiranto dikawal oleh beberapa pengawal. Ada juga Menteri Agama dan seorang doktor mendampinginya. 

Ketika mereka maju mendekati mobil komando, tiba-tiba terjadi ledakan keras. Selongsong gas air mata yang tersisa di dekat mobil komando, meledak tepat di depan Menkopolhukam. Serbuk-serbuk gas air mata menghambur.

Ledakan itu membuat Menteri Agama terpelanting dan pingsan. Ia digotong oleh laskar menuju ke mobil komando. Begitu juga seorang doktor yang bersamanya. Ia pun ditolong laskar ke mobil komando. Wiranto terpental. Ia sempoyongan, lalu diselamatkan oleh prajuritnya untuk dibawa ke istana.[] Saptaningtyas
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar