Topswara.com -- Demokrasi dan korupsi, dua hal yang sangat mengemuka dari tahun ke tahun, bahkan memunculkan keprihatinan mendalam, setelah melihat fakta maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat Pemerintah/birokrat, para politisi, bahkan oknum penegak hukum.
Korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Di Indonesia, korupsi masih menjadi hambatan utama investasi. Bahkan korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.
Proses pemberantasan korupsi di Indonesia telah dijalankan sejak zaman Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Pembentukan lembaga khusus untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diharapkan mampu mengakselerasi proses pemberantasan tindak pidana korupsi, namun faktanya hanya sebatas tambal sulam saja.
Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang sudah mengakar kuat. Upaya mencabut hingga ke akar tampaknya tak kuat. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara selamat. Korupsi telah melembaga. Adapun lembaga pemberantas korupsi tampaknya diamputasi. UU KPK direvisi dan mendapat penolakan dari berbagai kalangan.
Hukuman yang diberikan dalam memberantas para koruptor terkesan ramah, seperti Pembebasan bersyarat 23 narapidana (napi) kasus korupsi. Koordinator Masyarakat Anti korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan hak asasi warga Indonesia telah tercederai oleh pengkhianatan.
"Perspektif penegakan hukum itu kan selain penegak hukum ada dua sisi, pelaku dan korban. Nah kalau bicara hak asasi pelaku, sekarang bagaimana dengan hak asasi korban? Korban korupsi itu adalah seluruh rakyat Indonesia, yang tercederai karena pengkhianatan, pengkhianatan dari mana? Dari korupsi," ujar Boyamin Saiman kepada wartawan, Sabtu (10/9/2022).
Wacana tentang perlunya menindak tegas para koruptor boleh saja terus bergulir. Termasuk kemungkinan pemberlakuan hukuman mati. Namun persoalannya, di tengah karut-marutnya sistem hukum di negeri ini, didukung oleh banyaknya aparat penegak hukum yang bermental bobrok (baik di eksekutif/pemerintahan, legislatif/DPR maupun yudikatif/peradilan), termasuk banyaknya markus yang bermain di berbagai lembaga pemerintahan (dirjen pajak, kepolisian, jaksa, bahkan hakim dan lain-lain), tentu wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana.
Penerapan sistem demokrasi liberal pasca reformasi justru membuat kasus-kasus korupsi menjadi lingkaran setan yang tak bisa diputus. Persoalan penegakan hukum malah akhirnya semakin ruwet. Ditunjukkan dengan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum. Mekanisme pengadilan sangat tidak efektif dan efisien karena prosesnya begitu rumit dan bertele-tele, dan berujung tanpa kepastian. Politik saling sandera pejabat.
Semacam ada kesan kuat bahwa berbagai kasus seolah disimpan dan tidak diungkap untuk dijadikan alat tawar. Kasus-kasus itu dijadikan alat untuk mencegah pihak lain menggagalkan total kepentingan masing-masing pihak, mencegah berbagai pihak saling mengungkap kasus pihak lainnya, atau mendorong berbagai pihak untuk berkompromi. Akhirnya, ada semacam ‘ancaman’: siapapun yang berani berulah maka cacat dan kasusnya akan diungkap. Itulah politik ‘saling sandera’ satu pihak atas pihak lain.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak.
Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Sekali lagi, ini menunjukkan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan.
Wallahu a'lam Bishshawwab
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Komentar