Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demokrasi, Antikorupsi atau Corruption-Friendly?


Topswara.com -- Sudah jamak diketahui, korupsi di negeri ini adalah masalah sistemis. Sejak tahun 2002 korupsi telah diklasifikasikan UU sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Namun, anehnya belakangan ini para pelaku kejahatan luar biasa ini malah diberi potongan hukuman. 

Sebanyak 23 narapidana koruptor telah bebas bersyarat setelah memperoleh remisi, padahal kasus korupsinya berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah. Di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara, padahal telah membantu Djoko Tjandra merugikan negara sebesar Rp904 miliar. 

Penyunatan masa hukuman ini diklaim sudah sesuai aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Para tikus berdasi itu berhak atas remisi karena telah menunaikan kewajiban membayar denda dan uang pengganti (news.detik.com, 7 September 2022), padahal tanpa remisi pun hukuman para tikus berdasi ini sudah didiskon dari tuntutan asli atau vonis awalnya.

Tak hanya hukuman yang minim efek jera, eks napi korupsi pun masih bisa menjadi calon anggota legislatif di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini dimungkinkan sebab tak ada larangan bagi eks koruptor untuk kembali menjadi caleg berdasarkan regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu. Mereka hanya diwajibkan melampirkan surat keterangan dan mengungkapkan ke publik bahwa dirinya pernah dipidana dan telah selesai menjalani hukumannya (www.beritasatu.com, 28 Agustus 2022).

Semua ini menunjukkan regulasi yang dilahirkan di sistem demokrasi sekuler ini tidak menggentarkan, padahal sebagai kejahatan luar biasa, korupsi tidak hanya merugikan uang negara, melainkan juga sebabkan terhambatnya program-program pembangunan, rendahnya kualitas pendidikan, dan tak tertanganinya kemiskinan (www.lemhannas.go.id, 08 Oktober 2020). 

KPK pun menyayangkan pembebasan bersyarat ini karena mencederai semangat penegakkan hukum tipikor dan tidak adanya efek jera (mediaindonesia.com, 7 September 2022). 

Hal ini kembali memberikan pelajaran kepada rakyat bahwa hukum yang dibuat oleh manusia pastilah penuh celah. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan pembebasan bersyarat 23 narapidana kasus korupsi ini dapat terjadi berkat peran terstruktur dari Kemenhukam, MK, hingga MA (cnnindonesia.com, 8 September 2022). Sepanjang tahun 2021, ICW pun mencatat bahwa rata-rata terdakwa kasus tipikor dituntut 4 tahun 5 bulan penjara saja (nasional.kompas.com, 22 Mei 2022).

Selain itu, keterbatasan akal manusia yang membuat regulasi tidak dapat menjamin terwujudnya keadilan. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengkritik pembebasan bersyarat dan kebolehan menjadi caleg bagi eks koruptor hanya memperhatikan hak pelaku, tapi tidak mempertimbangkan hak asasi dari korban rakyat yang dirugikan (news.detik.com, 10 September 2022).

Sistem Islam Benar-Benar AntiKorupsi

Kita patut kembali merenungi firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 50, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”. 

Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat ini, “Apakah mereka menginginkan keputusan zaman Jahiliah yang dibuat berdasarkan kesewenang-wenangan, monopoli, dan hawa nafsu, dan tidak mau menerima keputusan Allah? Tidak ada keputusan yang lebih baik daripada keputusan Allah bagi kaum yang meyakini kebenaran ayat hukum dalam Al-Qur’an. Adapun selain itu adalah keputusan orang yang bodoh dan mengikuti hawa nafsu.” Sayangnya, dalam sistem demokrasi, hukum ‘jahiliah’ inilah yang digunakan untuk menyolusi semua permasalahan.

Sistem Islam menangani korupsi dengan tiga pilar. Pertama, pilar ketakwaan individu. Setiap muslim dibina dan dipahamkan bahwa ridha Sang Khalik lebih penting dari apa pun. Maka, siapa pun yang menjadi pejabat atau penguasa akan bersikap warak dalam mengemban amanah. Muraqabatullah (merasa selalu diawasi Allah) terbangun dalam diri sehingga penguasa akan takut berkhianat. 

Masing-masing menyadari bahwa harta, takhta, dan jabatan adalah amanah berat sehingga tak akan diperebutkan dengan segala cara. Sebaliknya, semuanya itu dipahami sebagai titipan Allah yang harus dimanfaatkan agar menuai pahala dan ridha-Nya. Pilar ketakwaan individu ini menjadi rem agar para pemangku jabatan tidak tergoda pada perkara haram, termasuk korupsi.

Kedua, pilar kontrol sosial. Atmosfer dalam masyarakat Islam yang berkesadaran politik akan membuat siapa saja malu dengan kemaksiatannya, bukan justru menjajal ulang kesempatan kembali menjabat seperti sekarang. 

Kebencian masyarakat Islam terhadap tindak korupsi karena Allah akan menciptakan suasana amar makruf nahi mungkar sehingga turut mengawasi dan mengoreksi kinerja para pejabat, serta mengingatkan mereka akan Allah Ar-Raqib (Yang Maha Mengawasi). Masyarakat Islam juga tidak bermental instan sehingga melanggengkan suap-menyuap untuk mendapatkan pelayanan cepat.

Ketiga, penerapan sanksi oleh negara. Dua pilar sebelumnya merupakan langkah preventif yang jitu tuk mencegah perkembangbiakan tikus berdasi yang tak terkendali. 

Namun, masyarakat Islam tetaplah terdiri dari manusia biasa yang ketika ketakwaannya melemah, bisa terjerumus melakukan kemaksiatan, termasuk korupsi. Maka, penerapan hukum Islam oleh negara akan menjadi langkah kuratif yang menimbulkan efek jera bagi para pelakunya sekaligus mencegah yang lain melakukan yang sama.

Hukuman bagi yang terbukti bersalah dapat berupa bentuk tasyhir atau pemberitahuan ke publik, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati (muslimahnews.com, 20/3/2021). 

Hakim ataupun kepala negara tidak dapat menjustifikasi sunat hukuman karena setiap vonis wajib didasarkan pada dalil syara yang tak bisa diubah-ubah sekehendak manusia. Sistem peradilan Islam juga tak mengenal pengadilan banding. Keputusan hakim tidak dapat diubah atau dibatalkan selama tidak bertentangan dengan hakikat permasalahan dan hukum Islam.  

Dengan kelengkapan tiga pilar ini, nyata bahwa sistem Islam secara holistik dan serius memerangi korupsi. Terbukti dalam sejarah, sistem Islam mampu membendung angka kriminalitas. Kitab-kitab fiqih mencatat bahwa sepanjang penerapan syariah Islam sekitar 1300 tahun lamanya terdapat 200 kasus pencurian. Tentu saja sistem Islam ini mampu tegak hanya dalam bentuk negara khilafah, satu-satunya negara yang segala regulasi, UU, dan aturannya berdasarkan hukum Allah yang sempurna. Allahua’lam.


Oleh: Arif Susiliyawati, S.Hum
Pegiat Dakwah Pemuda
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar