Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyingkap Tabir di Balik Meledaknya Sebaran Covid-19


Topswara.com -- Setahun lebih pandemi menyelimuti negeri. Bukannya melandai, angka kasusnya malah kian menanjak naik. Ngerinya lagi, ada varian baru virus tersebut yang konon dinyatakan penularannya lebih cepat dan massif. 

Akhirnya kita terpaksa harus kembali mengubur dalam-dalam harapan akan berakhirnya pandemi dalam waktu dekat. Mengingat, penyebarannya kian luas, para nakes kewalahan, hampir seluruh rumah sakit penuh oleh pasien Covid-19, Wisma Atlet saja telah terisi sebanyak 7.356 pasien Covid-19, dan beberapa daerah dinyatakan berstatus zona merah. Mirisnya lagi, kali ini diketahui bahwa Covid-19 juga aktif menyerang anak-anak. 

Dilansir dari katadata.com (23-06-2021), dinyatakan bahwa sebanyak 235.527 atau 12,5 persen kasus menimpa anak usia 0 sampai 18 tahun. Dari data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga 15 Juni lalu, angka kematian pasien dengan rentang usia 0-18 tahun mencapai 643 kasus. Angka kematian terbanyak disumbang pada kelompok rentang 0-2 tahun, yakni 251 anak.

Oleh karena itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengimbau semua kegiatan yang melibatkan anak usia 0-18 tahun diselenggarakan secara dalam jaringan (online). Orang tua atau pengasuh juga diminta mendampingi anak saat beraktivitas. 

Jadi, sekolah tatap muka yang beberapa waktu lalu sempat diwacanakan pemerintah untuk diberlakukan di tahun ajaran baru besok, selayaknya dikaji ulang, sebab kondisi negeri ini masih gawat pandemi. Pembukaan sekolah tatap muka dikhawatirkan justru akan menambah jumlah kasus positif pada anak-anak, bahkan kematian anak. 

Pandemi antara Takdir dan Ikhtiar

Betul bahwa sejatinya pandemi merupakan bagian dari ketetapan Sang Maha Pencipta, maka sebagai Muslim kita harus menerimanya dengan ikhlas. Namun, seorang Muslim juga wajib berikhtiar mengindari paparan virus tadi, yakni dengan cara menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes) secara ketat. Oleh karena itu, pengabaikan terhadap prokes sesungguhnya bukanlah cerminan seorang Muslim sejati. Sungguh, Covid-19 itu nyata adanya, bukan konspirasi sebagaimana yang disuarakan oleh beberapa kalangan.

Adapun dalam lingkup negara, sudah semestinya negara melakukannya langkah efektif dan efisien dalam memutus mata rantai penularan wabah. Mempriotitaskan nyawa manusia ketimbang pemulihan ekonomi. Mirisnya, dalam sistem kapitalisme hari ini, ketika perekonomian di ambang kehancuran, pemerintah justru fokus pada pemulihan ekonomi sehingga terkesan mengabaikan kesehatan rakyat.

Contohnya, pemerintah bersikeras tak akan menerapkan lockdown sejak awal pandemi menyapa negeri, alasannya ekonomi akan terhambat jika lockdown. Tidak hanya itu, di tengah gempuran pandemi yang belum reda, pemerintah menerapkan New Normal, yakni mengizinkan pembukaan pusat perbelanjaan, kegiatan masyarakat, dan  tempat wisata. Lagi-lagi alasannya karena pemulihan ekonomi. Belum lagi saat Tenaga Kerja Asing (TKA) berbondong-bondong tiba di Indonesia, di tengah gelombang PHK rakyat Indonesia dan kebijakan larangan mudik, sungguh hati rakyat terlukai. 

Bukankah ini yang disebut mengabaikan ikhtiar di atas garis takdir-Nya? Padahal kelak,  para pemangku kebijakan akan dihisab di yaumil akhir tentang pengurusan terhadap rakyat yang berada di bawah tanggungannya. Dalam pandangan Islam, penguasa bertugas sebagai pemelihara urusan rakyatnya. Maka sudah selayaknya segala kebijakan yang ditelurkan penguasa bertujuan untuk kemaslahatan umat, bukan demi kepentingan segelintir orang.

Muhasabah Kolektif

Meledaknya sebaran Covid-19 hari ini, semestinya mendorong kita untuk melakukan muhasabah, baik skala individu maupun negara. Dalam skala individu, pelanggaran prokes yang banyak dilakukan oleh masyarakat, entah karena meremehkan Covid-19 atau karena tidak percaya adanya virus tersebut, hendaknya menjadi pembelajaran. Sejatinya Covid-19 sungguh nyata adanya. Penerapan protokol kesehatan secara ketat harusnya menjadi komitmen setiap individu, karena hal tersebut tak hanya menyelamatkan diri sendiri tetapi juga masyarakat luas. 

Meski sejatinya, peremehan masyarakat terhadap Covid-19 tidak bisa dilepaskan dari kebijakan dan statement pemerintah yang terkesan plin-plan. Misalnya, mengatakan bahwa Covid-19 itu tidak ada bedanya dengan flu biasa, sehingga pasti akan sembuh sendiri. Jelas statement demikian tak bisa dibenarkan, faktanya Covid-19 mampu menimbulkan kondisi kegawatdaruratan bagi penyintasnya. 

Jika saja sejak awal pemerintah mengambil kebijakan lockdown sebagaimana yang banyak disarankan oleh para epidemiolog, tentu saja keadaannya tak serumit hari ini. Sejatinya penguncian wilayah atau lockdown juga merupakan langkah yang diajarkan sistem Islam tatkala terjangkit wabah. Sebagaimana Umar bin Khattab pernah melakukannya, sehingga wabah dapat diatasi secara efektif, tanpa berlarut-larut. Inilah sejatinya muhasabah skala negara yang semestinya dilakukan. Sudahkan pemerintah serius menangani pandemi atau selama ini hanya setengah hati?

Sungguh, meledaknya pandemi tak terkendali ini tak bisa dilepaskan dari ketiadaan aturan Islam di tengah-tengah masyarakat. Aneka kebijakan diterapkan berdasarkan adanya manfaat dan kepentingan, maka wajar jika akhirnya terjadi tumpang tindih kebijakan. Padahal jika saja kita mau membuka mata hati kita, tentu kita akan melihat betapa kesempurnaan Islam mampu menyelesaikan segala permasalahan manusia. Maka, sudah saatnya kita bersatu dan berjuang demi tegaknya ihilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallahu a'lam


Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S.
(Aktivis Muslimah dan Penulis Buku)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar