Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hanya Sistem Islam yang Mampu Menjaga Harta Rakyat


Topswara.com -- Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Marcus Mekeng mengaku tidak setuju dengan langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening pasif (dormant) dalam upaya mencegah kejahatan keuangan. 

Dia mengatakan, bahwa upaya PPATK itu sama saja dengan mengatur penggunaan uang pribadi orang. Menurutnya, PPATK harus memiliki landasan hukum kuat untuk melakukan kebijakan itu 
(republika.co.id, 29/7/2025). 

Menurut dia, sebagian orang memiliki alasan tertentu jika menaruh uang di rekening pribadi dan tidak dipakai. Mungkin orang-orang sengaja untuk menabung di rekening yang pasif tersebut. Di sisi lain, Mekeng juga meminta kepada PPATK untuk menjelaskan ketentuan soal rekening yang tidak aktif hingga harus diblokir tersebut.

Dari pemblokiran ini, nampak bahwa alih-alih melindungi, negara justru menebar ketakutan atas hak milik rakyat. Apalagi di saat yang sama, negara mengeluarkan kebijakan soal tanah terlantar yang bisa diambil alih jika tidak digunakan selama dua tahun, sementara pengangguran yang jelas-jelas terlantar justru diabaikan.

Semua ini menunjukkan wajah asli sistem kapitalisme yang tidak benar-benar berpihak pada rakyat. Dalam sistem ini, negara bisa saja bertindak atas nama efisiensi dan keamanan, namun yang jadi korban adalah masyarakat kecil.

Kebijakan ini adalah buah dari sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan rakyat sebagai objek untuk ditarik sebanyak-banyaknya ke dalam sistem finansial negara, tapi sekaligus rentan disingkirkan jika tak dianggap menguntungkan secara fiskal.

Kapitalisme menciptakan logika bahwa aset warga bisa dikelola, dimonitor, dan bahkan dibekukan jika tak lagi sejalan dengan “keseimbangan sistem”. Dalam logika ini, negara bukan lagi penjaga hak rakyat, tetapi menjadi bagian dari aktor ekonomi yang bisa mengambil keputusan atas harta milik individu dengan alasan efisiensi atau keamanan.

Berbeda dengan paradigma kapitalisme, Islam memandang kepemilikan pribadi sebagai hak yang dijaga syariat, bukan aset yang bisa diatur ulang sesuai kebutuhan fiskal negara. Islam memiliki aturan yang tegas dan proporsional terkait harta.

Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang mengambil hak orang lain secara zalim, maka ia akan diseret di hari kiamat dengan membawa dosa sebesar gunung” (HR. Bukhari).

Dalam Islam, negara tidak boleh mengambil atau membekukan harta rakyat kecuali karena alasan yang sah secara syar’i, seperti pencurian, penipuan, atau ketidakadilan dalam akuisisi. Dan bahkan dalam kasus semacam itu pun, Islam menetapkan prosedur hukum yang ketat, bukan sekadar keputusan administratif sepihak.

Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam telah terbukti dalam sejarahnya menjadi pelindung hak milik. Umar bin Khattab ra., salah satu khalifah paling tegas dalam keadilan, pernah menegur aparat yang mengambil harta rakyat meski dalam keadaan darurat. 

Negara Islam tidak menganggap rakyat sebagai objek fiskal, tetapi sebagai amanah yang wajib dilindungi hak-haknya.

Pemblokiran rekening rakyat bukan sekadar isu administratif atau kebijakan teknis. Ini adalah cermin dari bagaimana negara memperlakukan warganya, bagaimana sistem memandang harta pribadi, dan seberapa jauh negara merasa punya hak mengatur ulang hidup rakyat.

Selama negara berdiri di atas sistem kapitalisme yang menempatkan rakyat sebagai unit ekonomi semata, maka tindakan-tindakan seperti ini akan terus berulang. Harta, tanah, bahkan data pribadi bisa menjadi milik negara kapan pun dianggap perlu.

Sudah saatnya rakyat mempertanyakan: apakah kita hanya butuh ganti pemimpin, atau ganti sistem? Sebab bila sistemnya tetap sama, sistem yang membolehkan negara merampas secara sah, maka siapa pun yang berkuasa akan tetap menjadi ancaman terhadap hak-hak rakyat. []


Oleh: Ami Ammara 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar