Topswara.com -- Tragedi seorang driver ojol yang terlindas mobil barakuda polisi di tengah demo buruh Jakarta bukan sekadar musibah. Mobil itu dibeli dari pajak yang dipotong dari keringatnya sendiri, namun justru menjadi alat yang merenggut nyawanya.
Ironisnya, jerih payah rakyat yang seharusnya dihargai, malah dikorbankan oleh sistem yang katanya menjunjung keadilan.
Inilah wajah kapitalisme, keadilan cuma jargon. Rakyat menuntut hak, ikut menyuarakan aspirasi, tapi keselamatan mereka tidak dijamin. Pajak yang dipungut dari rakyat sendiri, justru dipakai untuk menindas mereka.
Setiap kali ada demo, aparat hadir bukan untuk melindungi rakyat, tapi memastikan kepentingan kekuasaan dan modal tetap aman. Kita hanya bisa mengangkat tangan, mengucapkan “innalillahi wa innalillahi raji’un”, dan memanjatkan doa agar Allah menerima amal korban serta menenangkan keluarga yang ditinggalkan.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menekankan bahwa problem perburuhan lahir dari kapitalisme yang memperlakukan tenaga kerja sebagai komoditas. Islam berbeda. Di bawah syariat, buruh dihargai, negara hadir menegakkan keadilan, bukan membiarkannya menumpuk hingga meledak di jalan.
Sejarah khilafah membuktikan prinsip ini nyata. Khalifah Umar bin Khattab r.a. menegur pejabat yang membebani rakyat tanpa imbalan, “Jika kalian mempekerjakan mereka, berilah haknya” (Thabaqat al-Kubra, Ibn Sa’d). Fakir tua, Muslim maupun non-Muslim, mendapat santunan dari Baitul Mal (Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibn Katsir).
Islam bukan sekadar aturan kerja, tapi jaminan sosial nyata. Buruh, pedagang, dan rakyat jelata mendapat perhatian langsung dari negara. Tidak ada lagi rakyat yang menjadi korban birokrasi atau sistem pasar yang serakah.
Bandingkan dengan kapitalisme, demo buruh hanyalah solusi tambal sulam. Harga naik, upah dituntut, efisiensi perusahaan, PHK mengancam. Siklus ini tak berujung. Tidak ada perlindungan menyeluruh, tidak ada keadilan hakiki.
Allah SWT berfirman, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, baginya penghidupan yang sempit” (QS. Thaha: 124).
Tragedi ojol ini menjadi pengingat bahwa sistem yang jauh dari Islam menjerumuskan rakyat ke kesempitan. Pajak yang mereka bayar, yang seharusnya untuk kesejahteraan, malah menimpa mereka sendiri. Keselamatan warga tidak pernah menjadi prioritas, tapi justru menjadi alat politik dan kekuasaan.
Islam hadir sebagai solusi hakiki. Di bawah syariat dan khilafah, jerih payah rakyat dihargai. Negara mampu mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dari buruh hingga pedagang kecil.
Demonstrasi tetap dimungkinkan sebagai hak rakyat, tetapi negara hadir langsung untuk menyelesaikan ketidakadilan, bukan menunggu konflik menumpuk.
Di masa khilafah, buruh tidak perlu menuntut haknya di jalanan. Sistem ekonomi Islam menjamin upah adil, perlindungan pekerja, dan distribusi kesejahteraan yang merata. Tidak ada rakyat yang menjadi korban kekuasaan atau pasar bebas. Islam menempatkan manusia sebagai tujuan, bukan komoditas.
Demo buruh dalam kapitalisme hanyalah siklus penderitaan yang berulang. Jerih payah rakyat diperas, aspirasi ditahan, dan keselamatan direnggut. Dalam Islam, setiap manusia dihargai, keadilan ditegakkan, dan negara hadir sebagai pelindung, bukan penindas.
Tragedi ojol ini adalah peringatan keras bahwa kapitalisme gagal menegakkan keadilan sejati, dan rakyat terus menjadi korban sistem yang rakus. Hanya Islam yang mampu menegakkan keadilan hakiki, memuliakan manusia, dan menghentikan penderitaan yang diciptakan oleh sistem sekuler liberal. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar