Topswara.com -- Aktivitas tambang di Raja Ampat ramai dibicarakan setelah Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyampaikan protes keras.
Mereka menuding kegiatan tambang nikel di lima pulau kecil, termasuk Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele, melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pertambangan di pulau kecil dengan ekosistem sensitif.
Analisis Greenpeace menyebutkan lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan dan sedimentasi dari kegiatan tersebut mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut. Bahkan, dalam video yang dirilis Greenpeace, terlihat adanya pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga sebagai lokasi tambang aktif.
Tidak heran, publik pun ramai menyerukan hashtag SaveRajaAmpat. Ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap keindahan dan keberagaman ekosistem laut Raja Ampat—yang dikenal sebagai salah satu pusat keragaman terumbu karang dunia.
Raja Ampat terdiri dari lebih dari 610 pulau dan merupakan rumah bagi 75 persen spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan.
Pada September 2023, UNESCO menetapkan Raja Ampat sebagai bagian dari Global Geopark. Artinya, kawasan itu dipandang UNESCO sebagai salah satu kekayaan dunia yang patut dijaga dan dilestarikan lantaran memiliki potensi luar biasa, baik di atas maupun bawah laut.
Kemudian pada Oktober 2024, National Geographic memasukkan Raja Ampat ke dalam daftar 25 destinasi terbaik dunia untuk 2025.
Tuai Kritikan
Seruan keras dilontarkan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia meminta Pemerintah menghentikan ekspansi tambang nikel yang kini mulai mengancam kawasan konservasi Raja Ampat.
Pernyataan Susi mencuat menyusul gelombang protes yang dilakukan aktivis lingkungan dan warga Papua dalam gelaran Indonesia Critical Minerals Conference yang digelar di Hotel Pullman Jakarta, pada Selasa (3/6/2025).
Komisi XII DPR pun melontarkan kritik keras terhadap Kementerian ESDM yang dinilai tebang pilih dalam menangani aktivitas tambang nikel yang diduga merusak lingkungan di kawasan Raja Ampat. Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Hariyadi menyoroti tidak adanya tindakan terhadap tiga perusahaan swasta yang diduga menjadi perusak utama kawasan konservasi tersebut.
Ketiga perusahaan yang dimaksud adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Anggota lain Komisi XII, Alfons Manibui, juga mengungkapkan perlu ada ruang bagi Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk melakukan evaluasi total terhadap izin-izin tambang yang telah diterbitkan di kawasan tersebut.
Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini, pada 4 Juni 2025, juga menyatakan penolakannya terhadap aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat. Ia menegaskan bahwa kawasan tersebut merupakan wilayah konservasi penting dan bukan tempat untuk eksplorasi mineral.
Selain itu, aspek legal terkait perlindungan kawasan tersebut juga semestinya lebih diperhatikan. Sebabnya, UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas menyebut bahwa pemanfaatan wilayah seperti Raja Ampat hanya diperbolehkan untuk pariwisata, konservasi, budi daya laut, dan penelitian.
Tidak ada satu pun pasal dalam UU tersebut yang melegalkan eksplorasi atau penambangan mineral di kawasan itu. Artinya, setiap bentuk tambang di wilayah tersebut adalah pelanggaran hukum dan ekologi.
Dari sisi ekonomi, sektor pariwisata sudah memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Data Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat yang menyebut bahwa pariwisata menyumbang sekitar Rp150 miliar per tahun, dengan rata-rata kunjungan mencapai 30.000 wisatawan tiap tahun dan 70 persen di antaranya adalah wisatawan mancanegara.
Jelas, potensi ekonomi Raja Ampat bukan pada tambang, tetapi pada lautnya yang lestari. Jika potensi lestari itu dirusak, semua bisa hilang, baik dari sisi alam, budaya, maupun penghidupan masyarakat lokal.
Sayangnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menanggapi fakta miris Raja Ampat ini dengan mengklaim bahwa tambang tersebut berada di luar wilayah konservasi. Ia menyatakan pula bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat telah terbit sebelum ia menjadi menteri.
Meski ia telah memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat, tetapi langkah itu lebih tampak sebagai upaya untuk sekadar meredam suara protes masyarakat tanpa melakukan peninjauan secara menyeluruh.
Menanggapi hal ini, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengaku sangsi. Sebabnya, sudah jelas penerbitan IUP itu melanggar UU sehingga pemerintah semestinya mencabutnya.
Belum usai penyelesaian atas kasus penambangan, media sosial diramaikan dengan video viral yang berisi unggahan kapal tug boat dan kapal tongkang yang diduga sebagai pengangkut tambang nikel, di mana kapal tersebut berinisial JKW Mahkam dan Dewi Iriana.
Dari data Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan (Ditkapel Kemenhub), keberadaan kapal dengan nama tersebut ternyata benar adanya. Ada beberapa kapal tug boat (kapal tunda) dengan nama JKW Mahakam.
Sementara untuk kapal-kapal tongkang yang ditarik tug boat didapati memiliki nama Dewi Iriana. Meski kepemilikan kapal-kapal dengan nama JKW Mahakam dan tongkang Dewi Iriana tersebut di sinyalir tak terkait sama sekali dengan keluarga Jokowi atau lingkaran kerabat dekatnya, tetaplah memunculkan polemik di kalangan masyarakat, dan menuai kritikan, serta dugaan-dugaan aliran dana, walaupun tidak secara langsung.
Ambisi Hilirisasi Nikel
Maraknya pertambangan nikel di sejumlah kawasan di Indonesia tidak terlepas dari ambisi pemerintah untuk menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Ambisi yang sudah dipupuk sejak rezim Jokowi itu kini tengah digenjot.
Diketahui, pada 2 Juni 2025, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut bahwa Indonesia ditargetkan masuk sebagai lima besar negara produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia pada 2040.
Menurut Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, Edy Junaedi, selain target produksi kendaraan listrik, pada 2040 Indonesia juga ditargetkan dapat menjadi negara kedua di dunia sebagai penghasil baja nirkarat atau stainless steel terbesar.
Target ini berkaitan dengan hilirisasi mineral, khususnya nikel di Indonesia yang menjadi bahan baku dari dua produk di atas.
Sampai 2040 investasi downstream nikel memiliki potensial hingga US$127,9 miliar dengan potensi penyerapan tenaga kerja hingga 357.000 orang. Kontribusinya pada Gross Domestic Product (GDP) diperkirakan mencapai US$43,2 miliar dengan peningkatan ekspor US$21 miliar.
Sebagai informasi, investasi di sektor minerba termasuk nikel menjadi salah satu senjata Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen serta target investasi mencapai 16,75 persen periode 2024—2029.
Untuk mendukung Asta Cita Presiden Prabowo, target investasi 2025 adalah sebesar Rp1.095 triliun. Dalam catatan BKPM, sejak UU 3/2020 berlaku mengenai larangan ekspor bijih nikel, telah terjadi kemajuan investasi sejak 2020 hingga triwulan III 2024 dengan investasi Rp514,8 triliun.
Jumlah perusahaan yang berinvestasi mencapai 194 perusahaan, kapasitas produksi 44.959 kilo ton per tahun, serta tambahan penyerapan tenaga kerja hingga 192.840 orang. Pada 2025—2045, pemanfaatan nikel diarahkan utamanya adalah untuk baterai EV (electric vehicle), EV komponen, dan stainless steel.
Kepemilikan Umat Dirampas Oligarki
Jika kita mencermati semua itu, ambisi pemerintah terkait tambang nikel jelas makin besar. Bahkan semua itu harus dibayar dengan eksploitasi SDA secara serampangan. Larangan ekspor bijih nikel yang katanya menjadi angin segar bagi kedaulatan ekonomi nasional, ternyata merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat lokal.
Warga Pulau Gag (salah satu lokasi tambang nikel di Raja Ampat) menyebut bahwa air di tempat tinggalnya menjadi keruh diduga karena limbah tambang nikel ketika hujan. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di Pulau Gag. Di Sulawesi dan Maluku sebagai sesama lokasi tambang nikel, juga mengalami hal yang sama. Warga lokal terdampak air keruh, lingkungan alam rusak, rawan banjir bandang, dan sebagainya.
Semua itu harus membuka mata kita bahwa sistem kapitalisme yang mereka puja memang nyata sistem yang rusak dan merusak.
Dampak dari kapitalisme adalah sistemis, tidak menimpa satu, dua, atau sekelompok orang saja. Namun, tiap hari para penguasa kapitalis senantiasa menjadi penikmat cuan kapitalisasi, padahal tambang itu sejatinya aset milik rakyat.
Kita harus sadar, kapitalisme meniscayakan segelintir orang yang mendapatkan keuntungan, tetapi masyarakat satu negeri yang tertimpa kemalangan jangka panjang.
Kapitalisme memandulkan peran penguasa/pemerintah sebagai pengurus urusan rakyatnya. Penguasa kapitalis akan selalu memihak kepada para pemilik modal, serta membela kepentingan mereka.
Negara pun hanya berperan sebagai fasilitator untuk memberi ruang pengelolaan SDA pada individu/perusahaan yang dilegalkan UU. Rakyat dibiarkan bagai barang terbengkalai, sedangkan nasibnya hanya digantungkan pada kucuran bansos dan program-program receh. Pada akhirnya pengusaha sejahtera, tetapi rakyat sengsara.
Islam Kelola Aset Rakyat
Sungguh, hutan terbesar di Indonesia yang masih tersisa hanya ada di Papua. Kita tentu bisa membayangkan jika hutan itu dibabat secara serampangan demi kepentingan segelintir kelompok, kerusakan alam jelas akan terjadi, bahkan bisa mengancam ketersediaan oksigen. Oleh sebab itu, penguasa semestinya amanah dalam mengelola aset rakyat.
Jika kita mencermati kasus Raja Ampat ini, ternyata tidak hanya nikel yang dieksploitasi, tetapi juga pulau-pulau di sana. Ruang hidup warga lokal jadi terampas. Padahal, keberadaan nikel sebagai SDA tambang maupun pulau-pulau tersebut sejatinya adalah harta kepemilikan umum yang hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat luas.
Semua gambaran ini sangat berbeda dengan penguasa di dalam sistem Islam dan di bawah naungan negara Islam (khilafah). Di dalam Islam, posisi penguasa adalah sebagai raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari).
Dengan ini, kasus Raja Ampat terkait erat dengan penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwalu fi Daulati al-Khilafati, bahwa laut, sungai, danau, teluk, pulau, selat, kanal, lapangan umum, dan masjid-masjid adalah milik umum bagi tiap anggota masyarakat.
Harta kepemilikan umum ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya.
Rasulullah SAW bersabda, “Mina milik orang-orang yang lebih dahulu sampai” (HR Abu Daud). Untuk itu kepemilikannya tidak boleh diserahkan kepada individu/swasta karena seseorang tidak boleh memiliki sesuatu secara khusus yang merupakan bagian dari kepemilikan umum.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” (HR. Abu Daud).
Terkait dengan tambang nikel di Raja Ampat, yang diketahui baru di empat pulau menunjukkan bahwa keberadaannya melimpah. Status tambang yang demikian ini sudah jelas bahwa tambang tersebut adalah harta kepemilikan umum, tidak boleh dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja.
Jadi, keberadaannya harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum Muslim, dan mereka berserikat atas harta tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Daud).
Selanjutnya, negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama kaum muslim, dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum Muslim. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi) dan yang ada di dalam perut bumi.
Khilafah akan membiayai berbagai kebutuhan masyarakat dengan pemasukan baitulmal dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum ini.
Demikianlah gambaran kebijakan khilafah dalam rangka mengelola tambang sebagai bagian dari aset rakyat/milik umum.
Pengelolaan SDA yang benar dan amanah mustahil terwujud dalam sistem kapitalisme, hanya dengan sistem khilafah semua bisa terwujud.[]
Oleh: Sari Diah Hastuti
(Aktivis Muslimah di Sleman, DIY)
Referensi:
"Kronologi Tambang Nikel Raja Ampat Jadi Sorotan Publik | tempo.co" https://www.tempo.co/ekonomi/kronologi-tambang-nikel-raja-ampat-jadi-sorotan-publik-1674021
https://money.kompas.com/read/2025/06/09/214514726/terungkap-pemilik-kapal-jkw-dan-iriana-yang-disebut-mengangkut-nikel?page=all.
https://muslimahnews.net/2025/06/09/36998/
0 Komentar