Topswara.com -- Aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu kritik dari masyarakat sipil. Selain mencemari lingkungan, penambangan tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan pidana, tak terkecuali tindak pidana korupsi (metrotvnews.com, 07/06/2025).
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut penerbitan izin lima perusahaan tambang di sana telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Pasal 35 (k) UU itu melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat (bbc.com, 05/06/2025).
Di dalam sistem kapitalisme, tanah dan sumber daya alam adalah komoditas. Negara menjadi fasilitator untuk yang memiliki modal. Mengatasnamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi, segala hal dapat dengan mudah dikorbankan.
Mulai dari hutan lindung, laut hingga hak masyarakat adat setempat. Inilah yang kini terjadi juga di Raja Ampat. Wilayah yang semestinya dijaga karena status konservasinya justru dilepas untuk dikeruk demi nikel. Nikel adalah komoditas yang sedang diburu pasar global untuk baterai kendaraan listrik.
Sementara itu oligarki adalah anak kandung Kapitalisme. Merekalah yang berkuasa dan yang mengendalikan sistem ekonomi saat ini. Bukan pemerintah.
Segelintir elite ekonomi dan politik memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menguras sumber daya alam demi keuntungan pribadi. Mereka sering mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas dan keberlanjutan lingkungan.
Dampak dari sistem kapitalisme yang rakus dan kekuasaan oligarki ini menciptakan berbagai kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang mencakup berbagai bentuk, mulai dari pencemaran hingga perubahan iklim dan kehilangannya keanekaragaman hayati.
Kemudian penebangan liar, penggunaan bahan kimia berbahaya, pembuangan limbah, dan penggunaan energi secara berlebihan, memicu kerusakan lingkungan yang serius.
Berbagai bentuk kerusakan ekologi akibat penambangan oleh para oligarki adalah akibat kesalahan konsep kepemilikan. Dalam Islam, tambang, sebagaimana sumber daya strategis lainnya, adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah) yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.
Semua SDA yang menguasai hajat orang banyak itu haram dimiliki oleh swasta apalagi asing atau diprivatisasi. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW:
المُسْلِمُوْنَ شُركَاء فِي ثَلاَثٍ: فِي اْلمَاءِ، وَالْكَلإَ، وَالنَّارِ
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Oleh karena itu, dalam sistem Islam, tambang nikel (dalam skala besar), misalnya, haram dimiliki oleh swasta apalagi asing. Dalam sistem Islam, tambang akan dikelola sepenuhnya tanpa merusak ekologi oleh negara. Hasilnya untuk kemaslahatan umat secara adil.
Dalam Islam, manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (QS. al-Baqarah: 30). Karena itu Islam memandang alam sebagai amanah dari Allah SWT yang harus mereka jaga. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi tidak boleh sampai merusak lingkungan.
Karena itu Islam akan memastikan pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan tuntunan syariah yang tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Allah SWT berfirman:
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
"Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, lalu bertobatlah kepada Dia. 'Sungguh Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)'” (QS. Hud [11]: 61). []
Oleh: Vitriyani
(Aktivis Dakwah di Sedayu, Bantul)
0 Komentar