Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Polugri Indonesia Pragmatis di Bawah Bayang-bayang Kapitalis


Topswara.com -- Dilansir dari tribunnews, (1/10/2021) Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara pertama di kawasan (Indo-Pasifik) yang mengingatkan Australia untuk menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan. Hal ini adalah respons RI terhadap terbentuknya pakta pertahanan baru antara Australia, Inggris (UK), dan Amerika Serikat (US) yang dikenal dengan nama AUKUS. 

Kerja sama ini meliputi teknologi kecerdasan buatan, siber, kuantum, sistem bawah air, dan kemampuan serangan jarak jauh, yang akan berlangsung 18 bulan ke depan. Dengan kesepakatan inilah, Australia bisa membangun kapal selam bertenaga nuklir sekaligus menjadikannya negara ke-7 di dunia yang mengoperasikannya setelah AS, Cina, India, Rusia, Prancis, dan Inggris. 

Prancis adalah negara yang terkena dampak langsung dari adanya aliansi ini. Kerja sama Prancis dan Australia senilai 90 miliar Dolar AS harus berakhir. Padahal, kerja sama militer ini telah berlangsung sejak 2016 untuk membangun 12 kapal selam. Oleh karenanya, Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan bahwa Pakta AUKUS ini akan menjadi ancaman nyata bagi keamanan Kawasan, secara khusus negara-negara ASEAN.

Bagaimana Respon AS?

Hengkangnya AS dari Afganistan menjadi indikasi bahwa politik luar negeri (polugri) AS di bawah Presiden AS Joe Biden sudah tidak berfokus di Timur Tengah. Begitu pun fakta adanya Pakta AUKUS sebagai indikasi bahwa kini konsentrasi AS beralih pada kawasan Asia Pasifik. Mengapa beralih? 

Menurut Pakar Hubungan Internasional Budi Mulyana, terbentuknya aliansi militer ini sebagai respons dari menguatnya Cina di Kawasan. Kita bisa melihat pengaruh militer Cina di Laut Cina Selatan makin menguat. Inilah yang menjadi tujuan riil membentuk AUKUS, walaupun bahasa diplomasi tujuan pembentukan AUKUS adalah untuk menjaga perdamaian. 

Mengingat pengaruh AS di Kawasan Asia Pasifik belum kuat. Saat ini AS tengah mempersiapkan Australia menjadi pemain utama di kawasan. Secara historis, Australia memang sedari dulu telah menjadi negara penyokong AS. Lihatlah perang dunia II dan perang dingin. Artinya, kerja sama militer antara ketiga negara tersebut (Australia, Inggris, AS) sebenarnya bukanlah aliansi yang baru. Karena Australia selain merupakan negara penyokong AS, ia pun negara jajahan Inggris.

Begitu pun kerja sama AS dan Inggris, sudah dari dulu. Misalnya saja NATO yang terbentuk untuk menjaga keamanan kawasan Atlantik Utara, di antara pendirinya adalah Inggris dan AS. Oleh karena itu, untuk meredam emerging power Cina di kawasan Indo-Pasifik, AS sebagai negara adidaya akan melakukan berbagai cara agar pengaruh Cina tidak makin besar. Sehingga kepentingan AS terhadap kawasan tetap terjaga. Adanya Pakta ini menjadikan Australia bisa membangun kapal selam tenaga nuklir menggunakan teknologi AS. Inilah alat baru buatan AS dan sekutunya untuk menahan ekspansi militer Cina di Pasifik.

Bagaimana Sikap Indonesia?

Indonesia ibarat pelanduk yang terimpit  dua gajah, Cina dan AS. Bahkan, Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa walau terlihat jelas kapal perang AS dan Cina mondar-mandir di perairan Natuna Utara milik Indonesia. 

Terlebih lagi kini adanya Pakta AUKUS yang memberikan Australia kapal perang bertenaga nuklir sebagai tambahan kekuatan AS melawan Cina. Indonesia hanya mampu berdiplomasi basa-basi menanggapi pertarungan besar dua kekuatan. Padahal, keamanan negaranya sedang terancam dan pintu masuk kepentingan negara besar untuk menjajah kawasan makin terbuka lebar. 

Ternyata, polugri Indonesia yang bebas aktif hanya bahasa halus dari politik pragmatis. Indonesia tidak memiliki sikap tegas sebagai respons pertarungan dua kekuatan. Cenderung menunggu apa yang menjadi arus utama lalu mengikutinya agar aman. Karena pelanduk harus mencari celah (keuntungan) dari pertarungan gajah jika tidak ingin mati terinjak. Inilah kelemahan Indonesia, yang tidak dapat berkehendak apapun sendiri demi kemaslahatan negaranya sendiri. 

Negara pengikut memang cenderung melaksanakan polugri yang pragmatis. Wajar karena kebijakan luar negerinya akan senantiasa berada di bawah bayang-bayang negara besar. Negara pengikut akan tunduk dan mengikuti segala ketetapan negara pemenang. 

Padahal, yang seharusnya Indonesia lakukan adalah menolak kedua kubu. Indonesia tidak boleh merapat pada salah satu walaupun ketegangan makin menguat di kawasan. Indonesia harus mampu mengatakan tidak pada Cina dan demikian juga pada AS. Namun, sikap tegas ini akan bisa Indonesia lakukan manakala negeri ini menjadi pemain utama di kancah perpolitikan internasional. 

Akan tetapi sungguh sayang, kini negara-negara kufur menguasai konstelasi perpolitikan internasional. Mereka bisa memanfaatkan negeri-negeri Muslim kapan saja demi kepentingan mereka. Sehingga negeri-negeri Muslim tak bisa bersikap tegas walaupun negerinya terjajah dan umatnya terzalimi.

Misalnya, Pakistan yang malah menjadi perpanjangan tangan AS untuk mengamankan Afganistan. Perebutan Laut Cina Selatan
Pertarungan dua kekuatan Cina-AS di kawasan sesungguhnya adalah indikasi bahwa Indonesia dan negeri-negeri Muslim telah lama kehilangan kekuatannya. Bahkan, untuk melindungi kekayaan alamnya yang melimpah pun tidak bisa. Apalagi kemampuan melindungi dan menyejahterakan rakyatnya, telah lama hilang. 

Cina dan AS sangat memiliki kepentingan besar di kawasan. Tidak heran jika mereka memperebutkan laut Cina Selatan yang menjadi jalur perdagangan strategis. Sebagai kapitalisme raksasa, AS tak ingin kehilangan pasarnya di Kawasan Asia Pasifik. Begitu pun Cina, sebagai produsen hampir setengah dari barang-barang yang beredar di seluruh dunia, sangat membutuhkan bahan baku yang ada di kawasan. 

Yang menyedihkan, negeri-negeri Muslim tak bisa berbuat apa-apa selain manut pada kebijakan internasional para penjajah. Padahal, semestinya Indonesia bisa menjadi negara yang memimpin dan mengarahkan kawasan untuk lepas dari penjajahan. Syaratnya, Indonesia harus sadar akan posisi dan potensi strategisnya di kancah perpolitikan internasional. Serta mengadopsi Islam sebagai politik luar negerinya.

Sementara Polugri Islam tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari sistem Islam dalam perisai negara islamiyyah. Asasnya adalah akidah Islam yang melahirkan prinsip polugri, yaitu mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia. 

Dakwah Islam oleh khilafah menjadi asas negara dalam membangun hubungannya dengan negara lainnya di seluruh bidang. Inilah yang Rasulullah SAW contohkan dan para khalifah setelahnya praktikkan.

“Kami tidak mengutus (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan.” (TQS Saba’[34: 28)

Rasulullah SAW melatih tentara dan mempersiapkan alutsista ‘alat utama sistem pertahanan’ untuk berjihad melawan siapa saja yang menghalangi dakwah Islam. Rasulullah SAW terus berusaha menaikkan level politik negaranya untuk bisa sampai berada pada posisi pemain utama dunia. 

Sehingga dengan ini, negara Islam mampu menentukan sikapnya berdasarkan akidah Islam. Serta mampu menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Oleh karenanya, jika Indonesia memakai Islam sebagai polugrinya, ia akan berusaha untuk mewujudkan visi ideologisnya yaitu berdakwah ke seluruh alam. 

Namun, bagaimana bisa berdakwah pada dunia jika posisinya saat ini masih menjadi negara pengikut yang mengikuti negara adidaya? Sungguh, kepemimpinan umat dalam satu bendera adalah perkara penting untuk meningkatkan kedudukan negeri-negeri muslim di kancah perpolitikan internasional. Sehingga, Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya mampu bersikap tegas pada manuver politik AS maupun Cina yang telah jelas mengancam keamanan Kawasan khususnya Indonesia. 

Insyaallah, atas izin Allah SWT, Islam akan kembali memimpin dunia dan mengembalikan hak manusia untuk hidup sesuai dengan fitrahnya. Menjunjung tinggi kehormatan umat dengan kewibawaan negara Islam yang menjadi perisai umat, yang megatur segala aspek dalam negeri maupun dengan luar negeri. Dengan menjadikan Al-Qur'an dan sunah sebagai pedomannya,  sehingga terbangunlah negara yang kuat nan sejahtera. 

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Annisa Tsabita Al-Arifah
Siswi SMAIT Al-Amri
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar