Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sembilan Tahun Mencari Tuhan (Dewa “Muhammad Shiddiq” Rajen, Pedagang Busana Muslim)


Topswara.com -- Meski Deli Serdang merupakan kabupaten berpenduduk mayoritas Muslim, namun tidak mudah bagi Dewa Rajen menemukan hakikat kebenaran Tuhan, lantaran Muslim di sekitarnya meninggalkan dakwah. Sehingga butuh waktu sembilan tahun pencarian yang akhirnya membuat seorang budhis ini mendapat hidayah. 

Setelah menjadi Muslim pun, tidak mudah pula bagi lelaki yang berganti nama menjadi Muhammad Shiddiq ini mengetahui perintah dan larangan Allah SWT secara kaffah, lantaran negara ini tidak menerapkan syariah. Sehingga butuh waktu lima belas tahun lagi untuknya mengetahui gambaran ajaran Islam secara utuh.  

Mencari Tuhan

Sejak masuk kelas satu SMP, lelaki kelahiran Deli Serdang 1976 ini meragukan konsep ketuhanan dalam agama Budha--- agama yang dianut orang tuanya, dirinya sejak lahir serta 2,03 persen penduduk Deli Serdang lainnya. 

“Menurut orang tua saya Tuhan itu bisa mengetahui perbuatan kesalahan yang kita buat. Tapi anehnya tuhan yang disembah kok berbentuk patung yang  terbuat dari batu yang ditaburi bunga dan diterangi lilin,” ungkapnya kepada Media Umat.

Ketidakyakinan terhadap tuhan yang disembahnya itu membuatnya mencari tuhan yang lain. Pada saat itu ada keluarganya yang beragama Hindu. Mereka melakukan ritual keagamaan dengan menyembah batu dan berhala yang diletakkan di bawah pohon besar.

Bahkan dalam ritual sepekan sekali tersebut, mereka mengorbankan sesembahan seperti  ayam atau kambing yang masih hidup  yang dilakukan oleh seorang pendeta yang kerasukan. “Menurut mereka itu adalah dewa (tuhan) yang merasuk ke tubuh pendeta tersebut,” ujar Dewa Rajen. 

Suatu ketika, ia melihat ritual tersebut dan pendeta yang kerasukan pada saat itu menggigit leher ayam yang masih hidup sampai putus dan menghisap darahnya sampai ayam itu mati sementara kambing yang masih hidup itu dipenggal lehernya sampai putus. “Saya berpikir itu juga bukan Tuhan,” ungkapnya.

Ia pun semakin penasaran untuk mencari Tuhan yang lain karena tidak ada yang memuaskan akal dan perasaannya. “Bersamaan dengan itu beberapa kali saya bermimpi dikejar oleh berhala yang berada di rumah,” ungkapnya.

Di waktu yang lain, ketika sedang berjalan di samping masjid di dekat rumah ia melihat banyak orang yang sedang shalat. Kemudian beberapa hari kemudian ia bermimpi kembali. 

“Di dalam mimpi itu saya berlari-lari sendirian sambil memanggil-manggil ibu saya karena dalam mimpi itu saya merasa ketakutan saya melihat mayat-mayat seperti beterbangan keluar dari tanah dan rumah rumah pada hancur. Mulai dari itu saya merasa Allah adalah Tuhan saya padahal tidak ada seorang pun yang memengaruhi saya,” akunya.

Memang, di SMP ia terkadang mengikuti pelajaran agama Islam, agama yang dianut 78,22 persen penduduk Deli Serdang. Namun tujuannya agar nilai agama Dewa Rajen bagus. Tapi ia tidak pernah serius untuk mempelajarinya. 

“Karena saya merasa ajaran agama yang benar itu adalah ajaran orang tua saya. Orang tua saya mengajarkan hal-hal yang baik kepada saya dan melarang saya merokok, mencuri, minum minuman keras dan lainnya,” kata Dewa Rajen beralasan. 

Berbeda dengan lingkungan sekitar. Alih-alih didakwahi oleh penduduk sekitar yang mayoritas Muslim itu,  Dewa Rajen malah kerap melihat contoh yang tidak baik dari mereka.

 “Banyak orang Islam yang melakukan hal yang dilarang orang tua saya maka dari itu saya lebih percaya kepada ajaran yang diajarkan orang tua saya tapi saya tidak percaya kepada tuhannya. Saya lebih yakin kepada Allah sebagai Tuhan,” tegasnya.

Sejak saat itu, ia pun enggan bersembahyang. Namun beberapa kali orang tua memaksanya untuk sembahyang. Ia pun terpaksa melakukannya, tapi dalam hati tetap mengagungkan Allah.

Kemudian ia pindah ke Medan untuk sekolah di STM. Saat kelas tiga, ia pernah mendengarkan seseorang yang mengatakan bahwa orang kafir  itu akan mati dan oleh Allah akan dijadikan kayu bakar api neraka.

Ia mengonfirmasikan hal itu kepada temannya yang beragama Islam. Ternyata sang teman mengiyakan. “Saya merasa  takut mati dan meminta bantuan kepada teman untuk memeluk agama Islam,” lontar Dewa Rajen mengungkap perasaannya saat itu.

Namun ia diabaikan. Hal sama pun ia minta kepada beberap teman Muslim lainnya namun tetap diabaikan. Akhirnya, ada teman yang usianya lebih tua dari Dewa Rajen yang mau membantu dan mengantar pada seorang ustaz. 

“Kalau mau masuk Islam harus mendapatkan izin keluarga dan membawa kartu keluarga,” jawab sang ustaz ketika ia mengutarakan maksud kedatangannya. 

Mendengar jawaban tersebut, ia pun mengurungkan niat masuk Islam. Lantaran langsung terbayang betapa murkanya keluarga kepada Dewa Rajen bila mereka tahu dirinya hendak masuk Islam. Pasalnya, kakak perempuannya ketika masuk Islam dipukuli abang dan kakak-kakaknya yang lain. Saking takutnya ketahuan, ia pun tidak pernah mengutarakan keinginannya masuk Islam meski kepada kakaknya yang telah mualaf tersebut.

Beberapa tahun setamat STM, ia diajak teman merantau ke Kota Kandis, Riau. Kesempatan jauh dari keluarga tidak ia sia-siakan. Maka, baru satu bulan di perantauan, tepatnya 27 Desember 1997 ia masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shiddiq. 

Beberapa hari setelahnya, bulan Ramadhan pun tiba. Karena merasa sudah Islam, ia pun ikut puasa walaupun bekas luka khitan belum sembuh. “Tetapi sampai tiga bulan lamanya saya mualaf, saya belum juga mengenal shalat karena tidak ada yang membimbing saya dan orang yang tinggal di sekeliling saya yang juga Muslim tidak shalat,” akunya sedih.

Sampai satu ketika ia mengalami kecelakaan sepeda motor, ia pun tersadar dan merasa berdosa karena tidak shalat. Kemudian ia belajar shalat dari buku tuntunan shalat dengan membaca huruf latinnya. Namun mengamalkannya secara keliru dengan membaca iftitah di setiap rakaat. 

Itu semua berjalan selama lebih kurang dua tahun karena tidak ada yang mengajarkannya. Dewa Rajen pun waktu itu tidak  punya uang untuk mencari guru karena ia bekerja hanya mendapatkan makan saja tanpa upah. “Itu semua saya jalani karena saya sudah masuk Islam dan saya tidak berani pulang ke rumah orang tua,” bebernya. 

Setelah sempat menganggur dan bekerja serabutan, pada 2000 pulang kampung dan bekerja di sebuah perusahaan pembiayaan kredit sewa-jual (leasing). Keluarganya mengetahui ia telah masuk Islam namun untungnya tidak ada penolakan yang berarti. 

Pada 2002, ia menikah dan dikaruniai tiga anak. Kariernya melejit dan mempunyai kedudukan dan penghasilan yang lumayan banyak. Namun ketika hendak dipromosikan ke Banda Aceh dengan posisi yang lebih tinggi, ia membaca artikel di koran tentang haramnya leasing, riba beserta hukumannya dalam ajaran Islam. 

“Saya langsung mengundurkan diri dengan meng-sms pimpinan di regional Medan. Pada saat itu jabatan saya head collection,” ungkapnya.

Tak mau dapur berhenti ngebul, ia pun banting stir menjadi pedangan busana Muslim dan batik. 


Mengenal Islam Kaffah

Seiring dengan bertambahnya pemahannya tentang syariah, Dewa Rajen alias Muhammad Shiddiq tahu negara ini tidak islami salah satunya dengan melegalkan riba dan harus diubah. Untuk mengubahnya tidak mungkin sendirian. Lalu ia mencari kelompok Islam tetapi tidak menemukan kelompok yang sesuai dengan perinsipnya.

“Sehingga saya berniat untuk mengumpulkan masyarakat dan membuat kelompok yang memperjuangkan syariah Islam tetapi tidak ada respons dari masyarakat,” akunya.

Memang pengetahuan Muhammad Shiddiq tentang Islam saat itu sedikit sekali. “Bahkan saya tidak tahu tentang bagaimana khilafah, bagaimana itu muamalat yang baik, bagaimana itu sanksi pidana menurut Islam dan lain-lain,” ungkapnya. 

Tetapi, ia tetap berusaha supaya dirinya dan keluarga dapat melaksanakan syariah dengan baik. Misalkan saja dengan menyuruh istri menutup aurat dengan baik dan menjaga perbuatan diri dan keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian, minum khamr dan perzinahan.

“Saya sadar dengan tegaknya hukum Islam, Indonesia akan maju,tapi pada waktu itu saya tidak berpikir akan keberadaan umat Islam yang ada di negara lain. Saya hanya berpikir bagaimana syariah  Islam akan tegak di Indonesia agar semua persoalan yang dihadapi Indonesia selesai dengan hukum Islam,” bebernya.

Sampai akhirnya dua orang aktivis pejuang Islam kaffah Deli Serdang datang ke rumahnya untuk melakukan kontak. “Ada  dua kali mereka datang ke rumah saya dan akhirnya saya pun mengikuti pembinaannya, sampai sekarang  lebih kurang sudah 14 bulan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Dimuat pada rubrik SOSOK Media Umat Edisi 121: CAPRES 3 TRILYUN
7 - 20 Rabiul Akhir 1435 H/ 7 - 20 Februari 2014
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar